Mei 25, 2012

menunggu kereta

       Duduk sendiri di pojokan bangku stasiun sambil menunggu kereta benar-benar menyebalkan. Ditambah kenyataan bahwa hari ini Adit –mantan pacarku- menikah dengan wanita yang jauh lebih muda dan lebih cantik dari aku membuatku makin galau. Foto prewedding keduanya yang dicetak di undangan mereka benar-benar menari-nari di mataku. Senyum mereka berdua seakan-akan mengejekku.
       Dua hari yang lalu aku memutuskan untuk datang saja ke pernikahan mereka. Setidaknya untuk menujukkan sopan santunku karena Adith sudah bersopan-sopan menyampaikan undangannya padaku, perempuan 34 tahun yang sudah 5 tahun dipacarinya. Selain itu, aku ingin menunjukan pada Adith, bahwa aku bukan pecundang yang tidak berani datang ke pernikahan mantannya. Aku sudah membeli gaun mahal dan memesan salon untuk mendadaniku secantik mungkin. Aku bertekad akan tampak lebih cantik dari mempelai wanitanya. Agar ketika Adith melihatku, ia akan menyesal sekali karena telah mencampakkan gadis semanis aku 3 bulan yang lalu. Aku bahkan sudah berlatih berjalan sambil mendongak dan latihan tersenyum sombong agar Adith makin shock dan menyesal tiada tara.
         Tapi kemarin, tiba-tiba aku meragukan ketegaranku. Aku takut kalo aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri, dan tiba-tiba bertingkah tolol. Seperti melempar Adith dengan gelas, atau merenggut sanggul si pengantin perempuan dan merobek-robek gaunnya, atau merusak kue pengantin sambil berteriak-teriak. Kau tau kan, perempuan kadang-kadang tidak bisa mengontrol emosinya. Bagaimanapun aku masih kecewa dengan Adith.
          Jadi hari ini, disinilah aku berada, duduk sendiri di pojokan stasiun Tugu, menunggu kereta Prameks ke Kutoarjo berikutnya datang, melupakan ide untuk membuat Adith menyesal telah meninggalkanku. Karena setelah kupikir-pikir, lelaki berusia 35 tahun, jelas memilih perempuan muda berusia 22 tahun kan, daripada yang berusia 34 tahun? Yah, lelaki matang kan memilih perempuan yang sedang mekar-mekarnya. Aku memutuskan untuk libur 3 hari dan meninggalkan Yogya. Semoga di rumah aku bisa membebaskan diri dari penyakit ‘kasihanlah diriku’ ini.
          Mungkin karena sedang terlalu galau, aku sampai tidak sadar ada seorang gadis kecil menangis di dekatku. Ia berambut keriting dan berjaket denim biru. Usianya sekitar 4 tahunan. Kaus kaki pinknya tampak tak cocok dengan roknya yang berwarna hijau. Aku mendekatinya.
        “Hey, kenapa menangis, dik?” tanyaku lembut. Baiklah, sapaan ‘dik’ untuk anak kecil bagiku memang tidak pantas. Tapi kan sudah teranjur. “Papa hilang” isaknya. Aduhhh, ini papanya yang hilang, atau dia yang hilang.
          “Namamu siapa, nak?” Nah, tampak lebih pantas sekarang, kan?
           “Anisa” katanya masih sesenggukan. Aku berlutut dihadapannya, tersenyum, dan memegang tangannya untuk membuatnya percaya padaku.
         “Oke, Anissa, Tante akan bawa kamu ke kantor informasi, agar Mama dan Papamu mudah mencarimu, ya?” Anissa mengangguk.
        Aku meraih ranselku, dan menggandengnya ke kantor informasi. Saat kami hendak memasuki pintu kantor informasi stasiun, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara laki-laki.
        “Anisa” teriaknya. Anisa menoleh, matanya berbinar.
        “Papa” Jeritnya gembira Si pria berlari mendekati kami, Ia kemudian berlutut dan memeluk Anisa.
        “Anisa, kemana saja kamu? Papa sibuk cari-cari kamu. Papa suruh tunggu malah pergi-pergi” Pria yang kutaksir berusia 43 an dan mengenakan kaos polo garis-garis hitam abu itu bangkit berdiri. Ia menyerahkan bungkusan dua gelas es teh pada Anisa
.        “Maafkan telah merepotkan Ibu, tadi saya suruh Nisa menunggu di dekat pintu sementara saya membeli es teh. Tapi kemudian dia menghilang.” Katanya padaku dengan nada menyesal.
         “enggak merepotkan, kok. Saya baru mau membawa Anisa ke kantor informasi, omong-omong, Saya masih embak-embak.” Kataku sambil tersenyum dan menunjukkan muka se-innocent mungkin. Jengah, lho di panggil ibu, kalo belum menikah. Yah, meskipun wajahku sebenarnya sudah pantas beranak dua. :D
       “Oh, maaf, Bu, eh, mBak” kata si pria malu.
        “Gapapa. Wajah saya memang boros. Hehehe” tapi memang saya sudah tua, kok. Lanjutku dalam hati.    
        “lha ini mamanya mana?” tanyaku lagi mencoba basa-basi. Ia terdiam. Anisa sibuk menyedot es tehnya.
          “ummm, mamanya Nisa sudah meninggal, mbak. Oh iya, saya Santoso, Papanya Anisa, kami sedang menunggu kereta prameks ke Kutoarjo.” Ia menjulurkan tangannya. Aku mengusapkan tanganku di celana jeansku, dan menyalaminya.
         “Saya Andini. Wah, sama dong, saya juga sedang menunggu kereta prameks ke Kutoarjo.” Kataku.       
         “Kebetulan sekali. Mari menunggu bersama-sama, saya mau mengambil tas dulu di dekat pintu. Ayo Nisa, kita ambil tas dulu” Ia tersenyum lucu.
         “Oh silakan” Tapi Anisa malah memegang tanganku dengan erat, ia menggelendot manja di pahaku.  
          “Papa, Nisa mau sama tante Andini” katanya. Matanya tampak memohon pada papanya. Aku terkejut tidak tau harus berkata apa. Aku hanya mengangkat bahu.
          “Waahh, sepertinya Annisa menyukai mbak Andini. Selama ini dia tidak pernah ramah dengan satupun teman wanita saya” Santoso tersenyum sambil menatapku.
          Aroma musk menguar dari kaos polonya.
          Aku tersipu malu.
           Tiba-tiba aku lupa kalau beberapa menit yang lalu aku galau sekali. Aku mau menunggu kereta berjam-jam kalo begini ceritanya…..


 Hahahaha, ngimpi!!!! Membaca novel-novel chicklit dan harlequeen benar-benar tidak di rekomendasikan untuk perempuan 27 tahun yang belum menikah. :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo......