Januari 18, 2008

aku sering bilang
tetaplah tinggal
tetaplah disini
tapi, mana mau
kau dengarkan aku
aku kan
bukan siapa-siapa

lalu,
kamu pergi
dan entah kapan datang lagi
berharap
mungkin terlarang untukku
karena aku tau
aku kan
cuma ilalang



untuk seorang kawan,

Januari 05, 2008

kalo kita keras pada diri sendiri
dunia pasti melunak pada kita
(pak Riko)

(cerpen lagi)

bila waktu bicara
oleh: meika
"minggu bulan tahun tlah tiba
melewati batasan tak terbayang
mungkin takkan pernah kita temukan
jawaban atas semua pertanyaan"
(Bila waktu bicara, Cindi FS dan Tengku F)
oktober 1990
"Ani, Jogja itu jauh banget, lho, kamu tidak akan sampai kesana dalam waktu 1 minggu." Agung berkata dengan mimik serius pada sahabatnya, Ani.
"Betulkah?" Ani bertanya sambil membenarkan letak pita lusuhnya. "Tapi kami mau naik kereta, jadi tidak mungkin 1 minggu, kata emak paling 1 hari. Bapak juga bilang begitu".
Agung kecil terdiam, dimainkannnya kecrek dari tutup botolnya dengan gusar.
"Kata Bapak, disana belum banyak pemulung. Disana juga apa-apa murah. Jadi kita mau kesana? Agung mau ikut?" Ani bertanya pada Agung. Matanya berbinar
Agung menggeleng
"Mak bisa marah, an, Bapak juga. Ani, kapan-kapan kamu kesini lagi, kan?" Tanya Agung
"Tentu saja, Kapan2 kita cari kardus bareng lagi, ya? eh iya, aku punya sesuatu untuk agung." Ani merogoh kantung kaosnya yang lusuh. Dikeluarkannya sebuah gantungan kunci bergambar miki dan gufi dari sana. Ani tersenyum
"Agung, ini hadiah untuk agung. simpan, ya, kapan2 kita pasti ketemu lagi."
Agung menerima hadiah itu, matanya kecilnya berkaca-kaca.
"Agung, agung kan enggak boleh nangis. masak cowok nangis. Udah dulu ya, ani pergi dulu, mak dan bapak pasti udah nunggu."
Agung mendongak
"Tapi, Ani janji kan bakal kesini lagi?"Agung bertanya pada Ani.
Ani bangkit. merapikan rok lusuhnya.
"Ya, Ani janji, Ani pasti pulang. Dah ya agung." Ani kecil pun berlalu, ia berlari kecil melintasi jalanan.
"Ani......"Agung berteriak
Ani menoleh
"Darimana kamu dapat gantungan kuncinya?" Agung bertanya
Ani tertawa, menampilakn sedertan giginya yang tak terurus dari wajah mungilnya. "Rahasia dong, " Jawabnya, kemudian berlalu kembali
***
Jogja, 2004
Dengan susah payah, aku membawa belanjaanku keluar dari toko. Agak tergesa aku menuju parkiran, dan menghampiri sepeda motorku. hmmph, hari ini ada jadwal arisan di rumah. Mama memintaku menolongnya untuk membuat kue pastel. Aku baru saja meletakkan barang bawaanku di atas motor, ketika tiba-tiba mataku bersiborok dengan mata seorang pemuda juru parkir, yang mengambil kertas parkirku. Seorang pemuda tinggi besar, sekitar 23 tahunan, berkulit sawo matang, mendekati legam, dengan tatapan mata tajam, dan sedikit jambang di dagunya. Bukan siapa-siapa pikirku. Tapi, mata pemuda itu sepertinya aku kenal. Sungguh, sepertinya aku mengenalnya. Rasanya aku akrab betul dengan mata itu.
Sampai di rumah, aku langsung mencoba mengingat-ingat semua teman-temanku. Teman-teman SD, SMP, SMA, teman kuliah, tapi sampai pusing aku mencarinya, aku tak pernah bisa mengingat siapa gerangan pemilik mata tajam itu. Ingatanku melayang ke kenangan masa kecilku. Dan kemudian aku seperti menemukan rantai yang hilang. Aku menemukan si pemilik mata tajam itu. Tapi tiba-tiba aku ragu lagi. mungkin enggak, ya?
***
"Pak, siapa sih mas-mas yang tinggi besar itu?" tanyaku pada seorang juru parkir di depan super market. Bapak itu mengikuti jari telunjukku.
"Oh, itu sih agung, juru paskir baru. baru masuk beberapa hari ini." Jawabnya
Deg. tiba-tiba jantungku seperti berhenti berdetak. Rupanya dugaanku semalam benar. Tapi bukankah ada banyak agung di dunia ini? Agung yang bermata tajam juga banyak. Akhirnya aku menunggu agung sampai malam. Sampai tutup supermarketnya. Aku mengikutinya berjalan pulang.
"Agung....." pangggilku. Ia menoleh sebentar. Tapi Ia berjalan terus sambil memasukkan tangan ke saku celana jeansnya. Aku cepat-cepat berlari menjajari langkhnya.
"Agung, ingat aku? aku Ani, temanmu dulu. Agung dari jakarta, kan?" Tanyaku. Ia cuma berhenti sebentar, menoleh padaku, dan berjalan lagi.
"Aku sudah semester 2 sekarang. Mak dan Bapak sudah meninggal. Aku diadopsi keluarga yang baik. Agung gimana? mak dan bapak apa kabar? kapan agung datang ke jogja?" Tanyaku dengan cuek padanya. Agung mendengus
"Siapa sih, kamu? apa peduliku kalo kamu sudah semester dua?" Ia berkata degnan ketus, dan kemudian berjalan lagi.
"Agung, jangan gitu, deh, masa Agung pura-pura lupa sama Ani? Ani itu ga mungkin salah, buktinya Agung masih pake gantungan kunci yang Ani beri dulu." Ujarku sambil menunjuk gantungan kunci miki dan gufi yang ada di tas punggungnya.
Agung berhenti berjalan dan menoleh ke arahku, ia memandangku dengan tajam
"Iya, kamu emang enggak salah. Tapi kamu sudah semester 2 dan aku tetap jadi orang pinggiran." Dan Ia pergi lagi, meninggalkan aku yang masih tidak percaya pada apa yang baru saja aku dengar
"Agung kok bicaranya seperti itu, sih...." Aku hanya tertunduk memandang kepergiannya.
Aku masih berdiri di pinggir jalan yang sepi itu ketiak seseorang degna kasar menarik tanganku. aku mendengar suara tawa dan mencium bau alkohol. Aku mencoba berontak dari cengkeraman tangan itu, samabil berteriak minta tolong. Tapi orang itu semakin mempererat cekalan tangannya, aku masih berusaha melepaskan diri ketika sesosok bayanagn menarikku menjauh dan memukul telak laki-laki iseng itu.
Pemuda penolongku menarikku pergi setelah orang jahat itu jatuh terjengkang menimpa perdu2 di pinggir jalan.
"Kamu bener2 cewek keras kepala, ya, bahaya tau cewek sendirian disini. Ayo cepat, aku antar pulang." Kata pemuda itu, yang tak alin adalah Agung.
Aku menurut ketika ia menarik tanganku.
"Kamu bohong, Ani, katanya kamu mau pulang, Tapi sudah bertahun-tahun kamu tidak pulang. Akhirnya aku pergi juga ke jogja, sendirian, mengadu nasib, sambil berharap ketemu kamu lagi." Agung membuka percakapan.
"Mak sakit, kemudian meninggal. Bapak ketabrak truk. dan akhirnya aku diadopsi orang. Bagaimana aku bisa pulang?"
Agung mendengus.
"Sudah jadi orang hebat kamu sekarang?" Dan Iapun menarik nafas lagi
"Agung, kenapa gantungan kuncinya masih dipakai?" Tanyaku, tanpa mempedulikan pertanyaan sinisnya
"Aku belum bisa membeli yang baru." Jawabnya ketus
Gantian aku yang menarik nafas.
"Agung, besok Ani ke tempat kerja agung lagi, ya...."
***
"Kamu enggak papa, malam2 begini pulang sama tukang parkir? kamu enggak dimarahi mama papamu?" Agung bertanya padaku.
Suaranya lebih lunak daripada kemarin. Aku menghela nafas, pandanganku menuju kebawah jembatan yang aku pijak. Rumah-rumah kecil beratap kardus dengan satu2 cahaya api di baliknya ada dibawah. Satu2 terdengar suara tangis bayi dibawah. Suara radio, suara orang bercanda, dan suara riak sungai yang airnya hitam dan kotor.
"Ani dulu berasal dari sana juga, agung, Ani enggak pernah lupa ani dulu cuma pemulung.
Aku mendongak kebawah, menonton seorang ibu muda yang kotor dan lusuh mencoba menenangkan bayinya yang rewel.
"Tapi, ani, kamu beruntung, bisa sekolah punya keluarga yang baik, yang sayang sama kamu. kamu bisa menikmati kehidupan yang normal. Sedang aku? mereka? kami tetap orang pinggiran." Agung berkata.
Aku memejamkan mataku. Mencoba menghalau suara tangis bayi yang makin keras dari bawah sana.
"Agung enggak suka ketemu ani, ya? dari kemarin kok ngomongnya sinis terus. Ani pikir kita bisa berteman lagi?
Agung tertawa dengan nada sinis. Seakan menertawakan aku yang tampak tolol dengan kalimat2ku. seakan menertawakan ibu muda pemulung yang belum berhasil menenangkan bayinya.
"Mana bisa aku dan kamu berteman, ani? kamu mahasiswa, sedang aku cuma tukang parkir. apa kata teman2mu nanti? hei, lihat, ani berteman dengan tukang parkir. sudahlah, ani, aku hanya manusia dari kubangan, sedang kamu sudah lama hidup di istana. kamu bersih dan wangi. sedang aku bau dan kotor."
Aku mendekat kearah Agung. Aku meraih tangannya yang kasar dan besar. Aku mencoba memandang matanya.
"Kubangan atau istana, sama2 ada di bumi. penghuninya juga sama2 manusia. apa bedanya? toh ani dulu juga berasal dari sana. Kalo sekarang ani sudah keluar dari kubangan, dan ani ingin mengajak sahabat yang baru ani temukan keluar juga dari kubangan. masak tidak boleh?"
Agung menunduk. Kedua tangannya semakin lemah di tanganku.
"Ternyata istana tidak pernah merubah kamu, Ani."
Aku tersenyum. Angin malam yang dingin dan bau sampah menerpa mukaku, menerbangkan anak2 rambutku. Agung menarik tangannya dari genggamanku. Dengan tangannya ia meraih rambutku dan menyelipkannya di balik telingaku.
"Agung, kita masih berteman, kan?" Tanyaku padanya. Agung tersenyum. Senyum manis pertama yang aku lihat sejak meninggalkannya bertahun-tahun yang lalu. Kemudian aku membiarkannya kepalaku jatuh ke dadanya.
Angin malam yang bau sampah, jembatan dengan latar belakang rumah2 kumuh, tangis bayi dan lalu lalang kendaraan menjadi latar belakang yang manis untuk persahabatan kami yang tersambung kembali. Kubangan, istana, tetap saja bagiku hanya tempat. yang terpenting adalah bagaimana hati kita merasa.
Aku mendongak, ketika kurasa sudah terlalu lama berada di pelukan agung.
"Agung..." pangilku
"Ya?" jawabnya,
"Agung enggak bau, kok, " Kataku, dan kamipun tertawa bersama. Gantungan kunci berganbar miki dan gufi berkilauan terimpa cahaya lampu.
Terban, 19 oktober 2004
catatan: terinspirsi oleh film biarkan bintang menari. dan Agung, mas2 parkir yang sering menghabiskan sisa esku. Apa kabar?