Oktober 20, 2010

surat untuk anakku


Selamat sore, sayang, ini mama. Menjengukmu dari jendela kamar kontrakan mama. Maafkan mama meninggalkanmu sendirian di bawah sana, nak. Maafkan mama yang telah membuatmu tiada sebelum kamu benar-benar ada didunia, nak. Maafkan mama.

Banyak alasan kenapa mama melakukannya, anakku. sungguh bukan karena mama menbencimu. mama sungguh mencintaimu, itulah kenapa mama tak mau ada hal-hal buruk yang menimpamu kalau kau ada.

Mama tidak mau melihatmu seperti Santhy anak tante Imel itu, sayang. Kamu tahu, setiap pulang sekolah, shanty selalu diejek teman-temannya. Dikatain anak pelacur, anak haram, anak singkong. Sampe tante imel harus repot-repot mencarikan shanty sekolah yang agak jauh supaya tidak dihina teman-temannya. Kalau kau mau tau, nak. Mama tidak mau membuatmu seperti itu.

Ada lagi, nak, yang membuat mama terpaksa menghilangkanmu didunia. Mama takut suatu hari nanti kamu bertanya siapa nama bapakmu. Karena mama benar-benar tidak tau. Mama lupa waktu itu mama melakukannya dengan siapa. Terlalu banyak orang yang bisa jadi dia adalah bapakmu. Bisa karto, Richard, sony, suryo, aduh, nak. Mama bahkan tak ingat satu-persatu. Mama tak bisa menyalahkan salah satu dari mereka dan meminta pertanggungjawaban untuk menjadi bapakmu, nak. Tidak bisa. Karena mereka konsumen. Mama saja yang bodoh karena lupa menenggak pil-pil ajaib.

Mama tidak mau, setelah kamu dilahirkan, tinggal bersama mama disini, lalu kamu mengikuti jejak hitam mama seperti ini. Kamu tau tante lina? Iya, tante lina yang masih 16 tahun itu. Yang anaknya tante Sonia. Dia akhirnya jadi pelacur juga mengikuti jejak ibunya. Karena mama sangat mencintaimu, sayang, maka mama tak rela hal itu menimpamu. Biarlah mama saja yang menjadi rusak di keluarga kita.

Jangan iri pada frida, kakakmu. Ia ada jauh sebelum mama ada disini. Bapak kakakmu frida meninggalkan mama begitu saja untuk merantau dikota, dan tak pernah kembali. Mama waktu itu masih muda sekali, sayang, kebutuhan terus meningkat, dan nenek-kakekmu yang sudah tua tak mungkin bisa memenuhi kebutuhan mama dan kak frida. Jadi mama pergi ke kota, nak, mencari bapak kak frida, tanpa bekal keterampilan apapun. Tapi sampai sekarang, mama tak pernah bertemu juga dengan laki-laki brengsek itu. Mama sudah bekerja di mana-mana. Mejadi pembantu, penjaga warung kopi, tukang sapu. Tapi tak satupun dari pekerjaan itu yang mampu menutup kebutuhan hidup. Mama harus membiayai hidup mama disini, dan mengirim uang untuk nenek, kakek dan kak frida. Semakin hari, semakin banyak saja kebutuhan di kampung, nak. Penghasilan mama yang tidak seberapa tak cukup untuk menutupinya.

Sampai kemudian mama bertemu tante imel. Dan disinilah sampe sekarang mama berada. Tak perlu keterampilan khusus. Mama hanya perlu berdandan, minum pil, dan terlentang. Kemudian berlembar-lembar uang akan memenuhi dompet mama. Mama bisa mengirim uang ke kampung, dan kebutuhan mama terpenuhi. Lebih dari cukup malahan.

Tapi kalau kau mau tahu, nak. Sebenarnya mama muak dengan pekerjaan ini.

Pekerjaan ini begitu penuh resiko, nak. Harus sembunyi-bunyi agar tidak ketahuan aparat, atau bapak-bapak berpeci itu, nak. Juga penyakit-penyakit kelamin yang mengancam setiap saat.

Siapa yang mau bekerja sebagai pelacur, coba? Siapa mau bekerja pada pekerjaan yang tak bisa kau tulis di ktp, di kartu puskesmas, dan tak bisa kau sebutkan saat orang bertanya apa pekerjaanmu. Siapa yang mau bekerja pada pekerjaan yang dilaknat orang-orang?

Tapi siapa yang bisa lari dari segala kebutuhan hidup? Orang yang menhujat mama tak ada satupun yang mau menanggung hidup mama, kak frida, nenek dan kakek. Mereka hanya pintar bicara dosa dan neraka.

Kalo saja mereka bisa berfikir, nak. Mama lebih takut kelaparan dan tak bisa mengirim uang ke kampung dari pada dosa. Tuhan tidak memberi kita uang cash, nak.

Maafkan mama, nak. Terpaksa memutus rantai kehidupanmu bahkan sebelum wajahmu terbentuk sempurna. Mama bahkan belum tau apa kelaminmu, nak. Kau tau, bertahun-tahun terkahir ini, benda bernama sama milik mama itu menjadi begitu penting.

Maafkan mama harus menempatkanmu di bawah jendela kamar mama, berkalang tanah. mama sengaja menanam mawar di atasmu. Semoga akar-akar mawar itu tidak menyakitimu, sayang. Mama hanya ingin selalu dekat denganmu. Mama ingin mawar-mawar yang mengandung saripati-mu itu mengharumkan kamar mama setiap hari.

Anakku yang tak pernah ada, maafkan mama.


::perempuan berpaling ke kaca rias di samping jendela, mengoleskan lipstick warna merah, membedaki hidungnya, menebalkan blush-on dipipinya, menyemprotkan parfum ke tubuhnya, dan meraih gadget dari atas meja rias.

From: imel

08547682XXX

Hotel arjuna. Kamar 215. Jam 17.30. direktur bank, puas-puasin, ya ,

Oktober 19, 2010

kematian pawang hujan

Sudah seminggu ini, sasmito setyo pawiro, bapakku, meniggal dunia. Kuburannya masih merah dan basah. Pertama karena hujan tidak berhenti turun berhari-hari ini, dan kedua, karena setiap hari, sebelum maghrib, aku dan ibu selalu datang ke kuburan bapak untuk menyiramkan air bercampur kembang telon dan daun dadap srep yang sudah di bacakan surat yaasin oleh pak kaum setiap selesai tahlilan sego gebing seminggu ini. Pipi kami juga basah. Tak kuasa menahan tangis setelah ditinggal bapak.
Bapak meninggal karena tersambar petir minggu lalu. Kalo biasanya orang meninggal karena tidak sengaja tersambar petir, maka bapak sengaja memberikan tubuhnya untuk disambar petir. Bapakku seorang pawang hujan. Namanya cukup terkenal di imogiri, Jogjakarta dan sekitarnya. Kadang-kadang, beberapa orang dari Surakarta dan klaten juga jauh-jauh datang kerumah kami untuk meminjam jasa bapak sebagai pawang hujan. Bapak juga pernah di panggil pihak keraton jogja saat pawang hujan keraton sakit, padahal mereka sedang menyelenggarakan hajatan besar. Tapi sejak setahun ini bapak menghentikan profesinya sebagai pawang hujan. Beliau prihatin dengan cuaca yang tak menentu, dan menyalahkan dirinya atas kekacauan cuaca ini. Setahun terakhir bapak lebih sering mencangklung di depan jendela rumah joglo kami sambil memandangi hujan yang datang tidak sesuai musimnya.
Bapak meninggal di usia 64 tahun. Di usianya yang ke 32, beliau menikahi ibuku yang masih muda belia. Baru di ulang tahun pernikahannya yang ke 12 ibu melahirkan aku. Pada hari kelahiranku itulah untuk pertama kalinya bapak memperoleh ilmu menyingkirkan hujan. Menurut cerita bapak, dihari kelahiranku waktu itu, cuaca benar-benar tidak bersahabat. Hujan deras seperti ditumpahkan dari langit, petir menyambar-nyambar, sementara air ketuban ibu sudah pecah. Bapak kebingungan karena rumah kami yang di perbukitan imogiri jauh dari rumah bidan. Akhirnya, sebisanya bapak menyiapkan uba rampe seadanya dan memohon kepada yang maha kuasa untuk menghentikan hujan agar ia bisa membawa ibu ke rumah bidan. Dan ajaib. Hujan tiba-tiba berhenti. Bapak segera membawa ibu ke bidan untuk melahirkan aku.
Sejak saat itulah bapak menjadi terkenal sebagai pawang hujan. Kemampuan yang kemudian menjadi anugrah bagi kami sekeluarga. Bagaimana tidak, bapak yang tadinya hanya buruh tani miskin yang mengerjakan sawah milik orang lain, tiba-tiba menjadi buah bibir dimana-mana dan sering kedatangan tamu priyayi-priyayi bermobil yang membutuhkan jasa pawang hujan. Bahkan bapak terikat kontrak dengan salah satu penyelenggara event organizer yang cukup terkenal di Yogyakarta.
Bapak menganggap kelahiranku sebagai berkah kehidupannya. Aku sering diajak saat bapak harus bertugas menyingkirkan hujan di lokasi hajatan. Biasanya kami dijemput dengan mobil oleh orang yang menyelenggarakan hajatan itu . kami membawa ubarampe yang sudah di persiapkan ibu sebelumnya. Ubo rampe itu adalah setakir pasir khusus dari Laut Kidul, setakir tanah, setakir telur ayam kampung digoreng ceplok, setakir telur ayam kampung mentah, setakir kacang hijau, dupa kemenyan madu, kembang liman serta uang seribu rupiah yang disandingkan dengan untaian sapu lidi yang pada ujungnya diikatkan cabai merah, bawang merah dan bawang putih sebanyak 25 biji. Khusus untuk bawang putih dengan cabai merah hanya disediakan empat buah guna dipasang disetiap sudut area hajatan setelah usai dibacakan mantera .
Untuk melaksanakan ritual itu bapak harus bersuci terlebih dahulu dengan cara mandi junub, membasahi seluruh tubuhnya dengan mandi keramas. Setelah itu baru menyiapkan uba rampe yang sudah disiapkan ibu untuk caos dahar terhadap danyang penguasa gaib daerah yang akan diusahakan agar hujan tak jadi turun. Untuk cabai merah dan bawang merah yang ditancapkan pada ujung sapu lidi yang baru dan belum pernah dipakai untuk menyapu sengaja dipasang terbalik sebagai penolak. Setelah semua sesaji sudah disipakan di halaman lokasi, japa mantera segera dirapalkan. Usai merapalkan japa mantera dan doa-doa,bapak akan memindahkan uba rampe ke tempat lain yang tidak mengganggu tamu, dengan posisi sapu tetap tegak. Saking seringnya ikut bapak mawang hujan, aku menjadi hafal ritual bapak. Yang aku tidak tau hanyalah mantra-mantra yang dikomat-kamitkan bapak.
Sampai-sampai, orang sering meledekku karena sering ikut bapak,
“tyas besok kalo udah gede juga mau jadi pawang hujan, ya? Kok ikut bapak terus?”
Saat digoda seperti itu, aku biasanya melendot di jarik batik motif parang rusak yang harus dipakai bapak bersama beskapnya. Bapak tersenyum dan menyahut,
“ya ndak, Pakdhe, tyas besok kalo sudah besar mau jadi dokter. Biar bapaknya saja yang jadi pawang hujan. Katanya sambil terkekeh, dan menepuk-nepuk kepalaku.
Setelah agak besar, aku mulai jarang ikut bapak. Kadang-kadang saja. Saat aku sedang libur sekolah atau saat aku sedang mau saja. Aku lebih sering ikut ibu berjualan kelontong di pasar imogiri. Lebih nyaman. Aku bisa duduk sambil belajar di kios ibu daripada harus nginthil bapak memasang lidi di empat penjuru mata angin. Bapak membelikan kios di pasar imogiri untuk ibu sejak ia sering pergi untuk memawang hujan kemana-mana. Selain untuk menambah pendapatan, juga sebagai kegiatan tambahan untuk ibu, agar ibu tidak nglangut sendirian dirumah saat beliau pergi. Dan setahun terakhir ini, pendapatan dari kios kelontong benar-benar membantu setelah bapak tidak praktek lagi.
Setahun belakangan ini benar-benar aneh rasanya. Bapak yang kupikir sangat menikmati pekerjaannya, tiba-tiba membatalkan semua janji mawang hujan di beberapa tempat. Bapak juga memutuskan kontrak dengan event organizer di Yogyakarta. bapak menjadi lebih sering termenung di depan jendela. Memandangi jalanan yang becek di depan rumah. Kadang bapak juga pergi kesawah, melihat dengan sedih tanaman tomat dan bawang merah yang rusak karena terendam air. Setahun ini memang hujan turun nyaris setiap hari, selalu dengan petir yang menyambar-nyambar. Jalanan-jalanan terendam air. Beberapa daerah malah banjir.
Bapaklah orang yang selalu ada di depan tivi setiap jam 4 sore. Membawa cangkir seng hijau dan rokok lintingan sendiri, menonton berita daerah, yang di dominasi berita banjir dimana-mana. Wajahnya selalu menjadi pias dan memerah tiap disebutkan daerah yang terkena bencana banjir. Kalau aku sedang ada di sebelahnya, ia lantas bertanya,
“nduk tyas, sepertinya kita pernah mawang hujan ke daerah ini, ya?”
Dan selalu. Wajahnya selalu khawatir.
Sudah kejelaskan padanya, bahwa hujan yang turun tidak di musimnya ini kemungkinan karena pengaruh la nina, yang muncul karena efek adanya pemanasan global. Tapi bapak berkeras. Ia merasa hujan yang tak menentu ini sebagian besar karena pratek tolak hujannya.
“sesuatu yang ditahan-tahan itu, ya, nduk, suatu saat akan meledak . mungkin hujan yang tidak berhenti-berhenti setahun ini karena selama 19 tahun ditahan-tahan untuk tidak keluar. Nah, sekarang, waktunya keluar. Gusti mesti marah besar iki.” Kata bapak dengan wajah penuh penyesalan.
Kasihan bapak. Setahun ini, ia jarang tidur. Gelisah terus setiap hari. Ibu bahkan terpaksa menutup kiosnya beberapa hari untuk menemani bapak. Ibu takut terjadi sesuatu dengan bapak. Firasatnya tidak enak.
“Duh gusti, seandainya hamba boleh memilih, lebih baik hamba menjadi miskin seperti dulu daripada kelinuhian hamba malah menyebabkan kekacauan semacam ini.” Suatu malam aku mendengar tangis bapak dari kamarnya.
Ibu berkali-kali menenangkan bapak, dan berkata bahwa semua ini bukan salahnya.
“bumi makin tua, pakne. Hujan salah musim itu bukan salahnya pawang hujan. Memang Gusti yang menakdirkan demikian.”
Dan bapak ku yang tinggi besar meski telah berumur itu, tetap sesenggukan di pelukan ibuku.
***
Sore itu masih sangat jelas di kepalaku. Hujan seperti hari-hari sebelumnya turun dengan deras sekali. Aku dan ibu tidak pergi membuka kios kami di pasar imogiri. Kami dirumah saja. Menanti hujan reda. Bapak berjalan hilir mudik tak sabar. Sudah jam 4 sore dan listrik tidak menyala juga. Bapak perlu sekali menonton siaran berita daerah dari tvri jogja. Bapak merasa perlu sekali tau daerah mana lagi yang terkena musibah banjir. Ia sudah gelisah sepanjang hari.
Aku duduk dilantai menemani ibu memarut kelapa. Ibu sesekali berkata pada bapak agar tenang saja, semua bukan salahnya.
Tapi bapak mana bisa tenang. Berkali-kali ia meyingkap gorden untuk melihat hujan. Bahkan beliau sekarang mulai membuka pintu depan.
“mau kemana, pak? Ada petir. Nanti tersambar petir.” Kata ibu mengingatkan bapak.
Bapak masuk kembali ke dalam.
“bune, tyas, mungkin ini saatnya bapak menebus dosa-dosa bapak pada masyarakat. Hujan setahun ini butuh tumbal. Kalo tidak, hujan tidak akan berhenti selamanya. Kita semua akan terendam banjir. Jaga diri baik-baik, bune. tyas, jaga dirimu dan ibu baik-baik, nduk”
Kemudian bapak mencium keningku dan ibuku. Kami benar-benar tidak mengerti apa yang akan dilakukan bapak.
“ngomong opo, to, pakne. Nyebut, pak. Nyebut.” Ibu mulai berdiri dan memegangi tangan bapak.
Bapak menepis tangan ibu dan berlari keluar. Ibu jatuh tersungkur sambil berlinang air mata.
Aku sungguh kaget sekali sampai tidak tau harus berbuat apa. Aku kemudian membantu ibu berdiri.
Lalu DUAAARRRR. Langit berpijar. Tatit besar tampak di langit. Jandela kaca bergetar semuanya. Ibu berlari kedepan, dan berteriak keras sekali.
“Bapaaaaaaakkkkkkk”
ibu meratap di samping jasad bapak yang gosong. Asap mengepul dari tubuh bapak. Seperti arang menyala yang tiba-tiba tersiram air.
Aku berdiri di depan pintu rumah kami. Tak tahu apa yang harus kulakukan. Hujan masih turun dengan deras. Seperti tak peduli dengan musibah yang menimpa kami. Seperti tak peduli bahwa baru saja bapak merelakan tubuhnya untuk dijadikan tumbal agar ia berhenti turun dari langit.
Seperti tak berjiwa, aku berjalan lunglai menembus hujan mendekati ibu yang terus meratapi bapak. Air mataku meleleh. Bapakku, sasmito setyo pawiro, mati menyerahkan diri di tangan kekuatan alam yang sering di taklukannya.

Oktober 14, 2010

buku bekas bagus


apa yang membuatmu tergerak untuk membeli sebuah buku sebelum kamu membaca resensinya? apakah karena judulnya, penulisnya, penerbitnya, sipnosis di halaman belakangnya, atau harganya?


untuk saya sendiri, saya akan memadukan hal-hal tersebut, membuat analisis singkat, menimbang, mengingat, memperhatikan ini itu, sampai akhirnya saya akan memutuskan buku mana yang akan dibeli atau tidak. yang pertama saya lihat adalah pengarangnya. itu penting, karena saya termasuk orang yang belajar pada pengalaman. biasanya, sekali saya membaca buku milik penulis x, cocok dengan gaya tulisan dan caranya bercerita, maka saya akan jatuh hati dan mencari buku-bukunya. pokoknya, kalo buku milik pak Dan Brown bagus, deh. begitu biasanya saya beranologi. biasanya, buku-buku yang ditulis orang luar negeri bagus-bagus. saya belum pernah kecewa dengan buku-buku milik orang bule sono. biar saya belum pernah dengar namanya, tapi semua isinya bagus. jangan, jangan cari buku dengan penulis orang indonesia yang kamu belum tau sepak terjangnya, atau belum pernah kamu dengar namanya, saya sudah sering dikecewakan karena hal itu. ini perkara membeli, masalahnya. beda dengan meminjam. kalo meminjam, buku apa aja, karangan siapa aja, hajar, bleh!!


yang kedua adalah penerbitnya. penerbit yang sudah terkenal biasanya hanya menerbitkan buku-buku bagus. tapi gak jarang juga penerbit gak terkenal menerbitkan buku yang bagus juga. mungkin masalah untung-untungan juga, kali, ya. tapi, percaya, deh. saya pernah membeli novel (obral) dengan nama penulis yang saya belum pernah dengar sebelumnya, dengan penerbit yang belum pernah juga saya dengar namanya, novelnya benar-benar mbulet, gaya bahasa ajaib, pokoknya, gak saya banget, deh. :D saya gak tau penerbitnya sedang pusing ato gimana bisa menerbitkan buku itu, atau memang saya saja yang bloon mau-maunya nyari buku di keranjang obral.


gimana dengan sipnosis? emmm, saya malah gak terlalu memperhatikan hal itu. karena kadang-kadang, sipnosis gak menceritakan isi buku itu. kadang cuma dijelaskan sedikit banget. dengan diakhiri pertanyaan, apakah sii XX akhirnya akan bla bla bla. bagaimana kisah selanjutnya bla bla bla, dan sebagainya. duhh, malah bikin penasaran. bisa-bisa saya terkecoh dan penasaran sehingga membeli buku tanpa memperhatikan faktor-faktor yang lain. ato, memang sipnosis dibuat seperti itu, ya? biar orang penasaran trus jadi beli tanpa pertimbangan.


nah, inilah bagian yang paling saya pertimbangkan dalam pembelian buku-buku saya. harga. yak betul. harga, sodara-sodara. kenapa harga? karena sebagai orang yang masih berada di hierarki terendah dalam teori hierarki kebutuhannya pak Abraham Maslow, dimana kebutuhan akan rasa aman masih menjadi prioritas utama, bagi saya, uang adalah hal yang utama yang akan dijadikan pertimbangan dalam membeli sesuatu. yeah, uang memang bukan segala-galanya, tapi segalanya kan butuh uang, ya? kadang, saya tak habis pikir saat saya melewati meja kasir di toko buku-toko buku ternama. alamak, relanya orang-orang ini menghabiskan uang senilai setengah gaji saya sebulan untuk membeli beberapa buku. saya bisa membayangkan betapa laparnya saya sepanjang hari kalo separoh gaji saya habis dibelikan buku-buku. tapi sekali lagi, orang-orang itu, jelas tidak berada di tingkatan yang sama dengan saya pada teori hierarki kebutuhan maslow. :D


lalu kenapa saya bisa-bisanya melewati meja kasir di toko buku-toko buku ternama? kok cuma lewat, ka? ya iyalah, mana mampu saya beli. toko buku-toko buku bagus (dan mahal) itu, cuma cocok dijadikan tempat nongkrong dan baca gratis saja bagi saya. atau tempat membandingkan harga-harga. saya hafalkan harganya dan judulnya di kepala saya, lalu saya akan pergi ke toko buku adul-adulan, untuk mencarinya. seperti nasib toko buku berlabel SA di jalan solo, jogja. pertama-tama saya akan pergi kesana, memarkir sepeda motor saya, melihat-lihat sambil membaca-baca gratis buku yang gak di plastikin (meski lebih banyak yang diplastik) cek harga, hafalin judul dari buku yang jadi inceran saya, dan pergi. tentu saja saya membayar parkirnya. kalaupun saya tidak membeli, setidaknya, mereka mendapatkan pendapatan parkir dari saya. selanjutnya, saya pergi ke toko buku adul-adulan disebelahnya, lalu dimulailah perburuan saya, mengaduk-aduk buku inceran saya, sampai mbak-mbak penjaganya menatap saya dengan pandangan cari-dan-cepat-pergilah. hehe.


ato saya akan pergi ke tempat bapak-bapak favorit saya. namanya pak Zul. pemilik lapak buku bekas di sebelah perempatan gondomanan, kalo dari arah kantor pos jogja, tinggal lurus sampe ketemu perempatan, belok selatan sedikit. kios pak Zul ada di ujung paling selatan dari deretan kios2 itu. pak Zul adalah bapak tua berkaca mata retak yang sudah saya kenal sejak saya masih sekolah di jogja, dan masih kemana-mana mengendari phanter saya. bapak-bapak yang menutup kiosnya jam 9 malam itu, bapak paling baik yang saya kenal. ia ikurt serta dalam upaya mengisi otak saya yang tumpul ini dengan bacaaan-bacaan yang cocok dengan kantong saya *halah*. meski saya sempat meninggalkan yogyakarta selama satu tahun untuk berpetualangan *jah. bahasanyaaaaa* beliau masih ingat saya. saya selalu berpesan padanya untuk menyimpankan novel-novel bekas yang ia punya untuk saya. dan gak main-main, saya mendapatkan supernova-petir, novelnya dewi lestari dengan kondisi masih bagus seharga 5 ribu. novel rojak milik fira basuki dengan harga 3 ribu. dan buku bekas-buku bekas lainnya.


baru kemarin saya kesana dan mendapatkan novelnya very barus, de jurnalis, terbitan tahun 2010, masih berplastik seharga 2 ribu rupiah. mantaps, kan? kadang-kadang, saya ingin menjadi anaknya pak Zul saja biar saya bisa menguplek-uplek isi kiosnya. lain waktu, saya pasti ceritakan tentang pak Zul yang baik ini. :D


oh iya, saya lupa, di kios buku bekasnya pak Zul, saya bisa mendapat bonus majalah apa saya yang suka. selesai transaksi, saya akan menatap pak zul dengan wajah berseri dan senyum mengembang, sambil bilang, pak zul, bonus majalah, yaaaaa.... lau pak Zul yang baik tersenyum dan mengangguk. hihi. tentu saja saya tau diri dengan mengambil majalah bekas paling atas. tidak mengobrak-abrik semuanya.


terus, gimana kalo ternyata buku-buku inceran saya tidak ada di jajaran buku bekas itu? oh, saya akan menunggunya sampai ada. biar. biar kadaluarsa biarlah. biar orang lain sudah menganggapnya terlambat, karena buku itu sudah tidak booming ketika saya akhirnya mampu membelinya, tapi bagi saya, kenikmatan membacanya tetap menjadi sesuatu yang baru. baru tidaknya suatu hal itu kan urusan pribadi, ya?


ehem. sebenarnya saya terlalu berhitung, atau memang pelit, ya?


hihi. ndak tau. yang jelas, saya bagi saya, kalo ada yang murah, kenapa mesti beli yang mahal. bukannya saya gak menghargai penulisnya, penerbitnya atau gimana. tapi, please, deh. bagi saya buku-buku mahal itu masih termasuk barang mewah. harus benar-benar menjadi kereaktif untuk bisa mendapatnya. dan memangnya kenapa dengan buku bekas?


:D

Oktober 06, 2010

kereaktip project




lilin dari minyak kelapa dan kembang-kembangan dari plastik bekas bungkus

ini memang hari benar-benar kurang kerjaan, sampe saya sempat-sempatnya membuat prakarya macam anak sd ini. lucu. lilin minyak kelapa bekas ini, bisa dipakai pas mati lampu. lumayan, bisa ngirit lilin. trus, kembang-kembangan dari plastik bekas dan kaleng minuman ini, bisa di taruh di meja kerja. buat lucu-lucuan aja. dari pada plastiknya nambah-nambahin timbunan sampah. kan lumayan, tuh, bisa dimanfaatkan. gampang pulak. :D

Oktober 04, 2010

menunda

menunda memang penyakit akut saya. padahal saya selalu kena batunya karena kebiasaan buruk saya ini. masih ditahun yang sama, saat saya masih di kalimantan, saya menunda pekerjaan saya, sampe akhirnya kepulangan saya ke tanah jawa tertunda beberapa hari karena saya harus menyelesaikannya sebelum saya pulang. saat itu saya sudah berjanji tidak akan menunda pekerjaan saya lagi.

saya menunda diet saya, sampai saya menjadi sebesar ini. besok saja, kata saya. mulai minggu depan aja, deh. kan tanggung minggu ini. nanti saja, selesai makan malam saya akan diet. dan akhirnya, tak sekalipun saya berdiet karena saya selalu menundanya.

saya menunda membeli bensin saat melewati spbu, sampe akhirnya saya benar-benar kehabisan bensin di jalanan. saya menunda membersihkan buku-buku saya, sampe akhirnya beberapa dari buku saya, lembab dan berayap. saya menunda mencuci baju, sampe akhirnya saya benar-benar kehabisan baju dan terpaksa memakai baju yang sama dalam 3 hari. saya menunda membersihkan tempat ikan, sampe semua ikan saya mati. saya menunda skripsi saya, sampe menghabiskan spp satu semester untuk kesia-siaan saja. saya menunda mandi sampe tubuh saya gatal-gatal.

cuma 3 hal yang tidak saya tunda, makan, tudur, dan buka puasa. hehe.

hebatnya, saya selalu punya dalih untuk itu semua. kalo saya tidak berhenti di spbu untuk membeli bensin, saya akan bilang, duhhh, susah sekali nyebrangnya, rame banget. kalo saya menunda mencuci baju, saya bilang, kan masih ada baju yang ini. pas saya menunda skripsi saya, saya bilang, tempat kerjaku buka cabang baru, je. jadi saya sibuk sekali. ya cuma itu kehebatan saya, berdalih untuk kebiasaan saya. mencari pemakluman, agar saya tidak terlalu merasa bersalah dengan kebiasaan buruk saya yang akut ini. padahal alasan yang sebenarnya adalah: M A L A S.

oh iya, menunda itu, selain membuat kita benar-benar kena batunya, juga benar-benar membebani kepala kita. seharusnya kepala kita sudah terbebas dari suatu beban, tapi ternyata beban itu belum juga benar-benar tuntas. menambah beban pikiran, membuat kita jadi marah-marah tanpa sebab. kadang-kadang, bahkan membuat tidur kita tidak nyenyak.

saya pikir, penyakit menunda ini seperti bibit kanker. kalo didiamkan saja, tanpa diobati, ia bisa menggerogoti seluruh jaringan tubuh kita. ia akan merusak jaringan syaraf, sistem pencernaan, sistem pernafasan, dan lama-lama akan membunuh kita. :D

nanti. besok. lusa. minggu depan. sepertinya kata-kata itu harus dihilangkan dari perbendaharaan kosa kata saya. karena cuma ada satu kata: sekarang!!

tunggu saja sampai berapa lama saya keranjingan motivasi, sebelum saya mulai malas dan menunda-nunda lagi. mungkin nanti kalo malaikat maut datang, saya akan bilang padanya, 'pak, tunggu sebentar, saya belum selesai...'



You may delay, but time will not..

Benjamin Franklin