Oktober 19, 2010

kematian pawang hujan

Sudah seminggu ini, sasmito setyo pawiro, bapakku, meniggal dunia. Kuburannya masih merah dan basah. Pertama karena hujan tidak berhenti turun berhari-hari ini, dan kedua, karena setiap hari, sebelum maghrib, aku dan ibu selalu datang ke kuburan bapak untuk menyiramkan air bercampur kembang telon dan daun dadap srep yang sudah di bacakan surat yaasin oleh pak kaum setiap selesai tahlilan sego gebing seminggu ini. Pipi kami juga basah. Tak kuasa menahan tangis setelah ditinggal bapak.
Bapak meninggal karena tersambar petir minggu lalu. Kalo biasanya orang meninggal karena tidak sengaja tersambar petir, maka bapak sengaja memberikan tubuhnya untuk disambar petir. Bapakku seorang pawang hujan. Namanya cukup terkenal di imogiri, Jogjakarta dan sekitarnya. Kadang-kadang, beberapa orang dari Surakarta dan klaten juga jauh-jauh datang kerumah kami untuk meminjam jasa bapak sebagai pawang hujan. Bapak juga pernah di panggil pihak keraton jogja saat pawang hujan keraton sakit, padahal mereka sedang menyelenggarakan hajatan besar. Tapi sejak setahun ini bapak menghentikan profesinya sebagai pawang hujan. Beliau prihatin dengan cuaca yang tak menentu, dan menyalahkan dirinya atas kekacauan cuaca ini. Setahun terakhir bapak lebih sering mencangklung di depan jendela rumah joglo kami sambil memandangi hujan yang datang tidak sesuai musimnya.
Bapak meninggal di usia 64 tahun. Di usianya yang ke 32, beliau menikahi ibuku yang masih muda belia. Baru di ulang tahun pernikahannya yang ke 12 ibu melahirkan aku. Pada hari kelahiranku itulah untuk pertama kalinya bapak memperoleh ilmu menyingkirkan hujan. Menurut cerita bapak, dihari kelahiranku waktu itu, cuaca benar-benar tidak bersahabat. Hujan deras seperti ditumpahkan dari langit, petir menyambar-nyambar, sementara air ketuban ibu sudah pecah. Bapak kebingungan karena rumah kami yang di perbukitan imogiri jauh dari rumah bidan. Akhirnya, sebisanya bapak menyiapkan uba rampe seadanya dan memohon kepada yang maha kuasa untuk menghentikan hujan agar ia bisa membawa ibu ke rumah bidan. Dan ajaib. Hujan tiba-tiba berhenti. Bapak segera membawa ibu ke bidan untuk melahirkan aku.
Sejak saat itulah bapak menjadi terkenal sebagai pawang hujan. Kemampuan yang kemudian menjadi anugrah bagi kami sekeluarga. Bagaimana tidak, bapak yang tadinya hanya buruh tani miskin yang mengerjakan sawah milik orang lain, tiba-tiba menjadi buah bibir dimana-mana dan sering kedatangan tamu priyayi-priyayi bermobil yang membutuhkan jasa pawang hujan. Bahkan bapak terikat kontrak dengan salah satu penyelenggara event organizer yang cukup terkenal di Yogyakarta.
Bapak menganggap kelahiranku sebagai berkah kehidupannya. Aku sering diajak saat bapak harus bertugas menyingkirkan hujan di lokasi hajatan. Biasanya kami dijemput dengan mobil oleh orang yang menyelenggarakan hajatan itu . kami membawa ubarampe yang sudah di persiapkan ibu sebelumnya. Ubo rampe itu adalah setakir pasir khusus dari Laut Kidul, setakir tanah, setakir telur ayam kampung digoreng ceplok, setakir telur ayam kampung mentah, setakir kacang hijau, dupa kemenyan madu, kembang liman serta uang seribu rupiah yang disandingkan dengan untaian sapu lidi yang pada ujungnya diikatkan cabai merah, bawang merah dan bawang putih sebanyak 25 biji. Khusus untuk bawang putih dengan cabai merah hanya disediakan empat buah guna dipasang disetiap sudut area hajatan setelah usai dibacakan mantera .
Untuk melaksanakan ritual itu bapak harus bersuci terlebih dahulu dengan cara mandi junub, membasahi seluruh tubuhnya dengan mandi keramas. Setelah itu baru menyiapkan uba rampe yang sudah disiapkan ibu untuk caos dahar terhadap danyang penguasa gaib daerah yang akan diusahakan agar hujan tak jadi turun. Untuk cabai merah dan bawang merah yang ditancapkan pada ujung sapu lidi yang baru dan belum pernah dipakai untuk menyapu sengaja dipasang terbalik sebagai penolak. Setelah semua sesaji sudah disipakan di halaman lokasi, japa mantera segera dirapalkan. Usai merapalkan japa mantera dan doa-doa,bapak akan memindahkan uba rampe ke tempat lain yang tidak mengganggu tamu, dengan posisi sapu tetap tegak. Saking seringnya ikut bapak mawang hujan, aku menjadi hafal ritual bapak. Yang aku tidak tau hanyalah mantra-mantra yang dikomat-kamitkan bapak.
Sampai-sampai, orang sering meledekku karena sering ikut bapak,
“tyas besok kalo udah gede juga mau jadi pawang hujan, ya? Kok ikut bapak terus?”
Saat digoda seperti itu, aku biasanya melendot di jarik batik motif parang rusak yang harus dipakai bapak bersama beskapnya. Bapak tersenyum dan menyahut,
“ya ndak, Pakdhe, tyas besok kalo sudah besar mau jadi dokter. Biar bapaknya saja yang jadi pawang hujan. Katanya sambil terkekeh, dan menepuk-nepuk kepalaku.
Setelah agak besar, aku mulai jarang ikut bapak. Kadang-kadang saja. Saat aku sedang libur sekolah atau saat aku sedang mau saja. Aku lebih sering ikut ibu berjualan kelontong di pasar imogiri. Lebih nyaman. Aku bisa duduk sambil belajar di kios ibu daripada harus nginthil bapak memasang lidi di empat penjuru mata angin. Bapak membelikan kios di pasar imogiri untuk ibu sejak ia sering pergi untuk memawang hujan kemana-mana. Selain untuk menambah pendapatan, juga sebagai kegiatan tambahan untuk ibu, agar ibu tidak nglangut sendirian dirumah saat beliau pergi. Dan setahun terakhir ini, pendapatan dari kios kelontong benar-benar membantu setelah bapak tidak praktek lagi.
Setahun belakangan ini benar-benar aneh rasanya. Bapak yang kupikir sangat menikmati pekerjaannya, tiba-tiba membatalkan semua janji mawang hujan di beberapa tempat. Bapak juga memutuskan kontrak dengan event organizer di Yogyakarta. bapak menjadi lebih sering termenung di depan jendela. Memandangi jalanan yang becek di depan rumah. Kadang bapak juga pergi kesawah, melihat dengan sedih tanaman tomat dan bawang merah yang rusak karena terendam air. Setahun ini memang hujan turun nyaris setiap hari, selalu dengan petir yang menyambar-nyambar. Jalanan-jalanan terendam air. Beberapa daerah malah banjir.
Bapaklah orang yang selalu ada di depan tivi setiap jam 4 sore. Membawa cangkir seng hijau dan rokok lintingan sendiri, menonton berita daerah, yang di dominasi berita banjir dimana-mana. Wajahnya selalu menjadi pias dan memerah tiap disebutkan daerah yang terkena bencana banjir. Kalau aku sedang ada di sebelahnya, ia lantas bertanya,
“nduk tyas, sepertinya kita pernah mawang hujan ke daerah ini, ya?”
Dan selalu. Wajahnya selalu khawatir.
Sudah kejelaskan padanya, bahwa hujan yang turun tidak di musimnya ini kemungkinan karena pengaruh la nina, yang muncul karena efek adanya pemanasan global. Tapi bapak berkeras. Ia merasa hujan yang tak menentu ini sebagian besar karena pratek tolak hujannya.
“sesuatu yang ditahan-tahan itu, ya, nduk, suatu saat akan meledak . mungkin hujan yang tidak berhenti-berhenti setahun ini karena selama 19 tahun ditahan-tahan untuk tidak keluar. Nah, sekarang, waktunya keluar. Gusti mesti marah besar iki.” Kata bapak dengan wajah penuh penyesalan.
Kasihan bapak. Setahun ini, ia jarang tidur. Gelisah terus setiap hari. Ibu bahkan terpaksa menutup kiosnya beberapa hari untuk menemani bapak. Ibu takut terjadi sesuatu dengan bapak. Firasatnya tidak enak.
“Duh gusti, seandainya hamba boleh memilih, lebih baik hamba menjadi miskin seperti dulu daripada kelinuhian hamba malah menyebabkan kekacauan semacam ini.” Suatu malam aku mendengar tangis bapak dari kamarnya.
Ibu berkali-kali menenangkan bapak, dan berkata bahwa semua ini bukan salahnya.
“bumi makin tua, pakne. Hujan salah musim itu bukan salahnya pawang hujan. Memang Gusti yang menakdirkan demikian.”
Dan bapak ku yang tinggi besar meski telah berumur itu, tetap sesenggukan di pelukan ibuku.
***
Sore itu masih sangat jelas di kepalaku. Hujan seperti hari-hari sebelumnya turun dengan deras sekali. Aku dan ibu tidak pergi membuka kios kami di pasar imogiri. Kami dirumah saja. Menanti hujan reda. Bapak berjalan hilir mudik tak sabar. Sudah jam 4 sore dan listrik tidak menyala juga. Bapak perlu sekali menonton siaran berita daerah dari tvri jogja. Bapak merasa perlu sekali tau daerah mana lagi yang terkena musibah banjir. Ia sudah gelisah sepanjang hari.
Aku duduk dilantai menemani ibu memarut kelapa. Ibu sesekali berkata pada bapak agar tenang saja, semua bukan salahnya.
Tapi bapak mana bisa tenang. Berkali-kali ia meyingkap gorden untuk melihat hujan. Bahkan beliau sekarang mulai membuka pintu depan.
“mau kemana, pak? Ada petir. Nanti tersambar petir.” Kata ibu mengingatkan bapak.
Bapak masuk kembali ke dalam.
“bune, tyas, mungkin ini saatnya bapak menebus dosa-dosa bapak pada masyarakat. Hujan setahun ini butuh tumbal. Kalo tidak, hujan tidak akan berhenti selamanya. Kita semua akan terendam banjir. Jaga diri baik-baik, bune. tyas, jaga dirimu dan ibu baik-baik, nduk”
Kemudian bapak mencium keningku dan ibuku. Kami benar-benar tidak mengerti apa yang akan dilakukan bapak.
“ngomong opo, to, pakne. Nyebut, pak. Nyebut.” Ibu mulai berdiri dan memegangi tangan bapak.
Bapak menepis tangan ibu dan berlari keluar. Ibu jatuh tersungkur sambil berlinang air mata.
Aku sungguh kaget sekali sampai tidak tau harus berbuat apa. Aku kemudian membantu ibu berdiri.
Lalu DUAAARRRR. Langit berpijar. Tatit besar tampak di langit. Jandela kaca bergetar semuanya. Ibu berlari kedepan, dan berteriak keras sekali.
“Bapaaaaaaakkkkkkk”
ibu meratap di samping jasad bapak yang gosong. Asap mengepul dari tubuh bapak. Seperti arang menyala yang tiba-tiba tersiram air.
Aku berdiri di depan pintu rumah kami. Tak tahu apa yang harus kulakukan. Hujan masih turun dengan deras. Seperti tak peduli dengan musibah yang menimpa kami. Seperti tak peduli bahwa baru saja bapak merelakan tubuhnya untuk dijadikan tumbal agar ia berhenti turun dari langit.
Seperti tak berjiwa, aku berjalan lunglai menembus hujan mendekati ibu yang terus meratapi bapak. Air mataku meleleh. Bapakku, sasmito setyo pawiro, mati menyerahkan diri di tangan kekuatan alam yang sering di taklukannya.

2 komentar:

monggo......