Juli 16, 2011

surat untuk ayah

ayah, siapapun engkau, bolehkan aku memanggilmu ayah? aku tak pernah mengenalmu, tak pernah tau wajahmu, tak pernah tau bagaimana engkau sampai kau tiada. tapi, bolehkah aku tetap memanggilmu ayah? jika boleh, aku akan melanjutkan surat ini.

ayah, siapapun engkau, aku ingin bertanya, kenapa kau meninggalkan aku? kenapa hanya aku diantara anak-anak ibu yang tidak punya ayah? kenapa kau tidak ingat pernah punya putri aku?
ayah, berat sekali hidup tanpamu di dunia ini. tak pernah ada yang membelaku saat anak-anak nakal itu melempariku dg batu. tak ada yang yang menjemputku saat pulang berkemah, padahal smua anak dijemput ayahnya. tak ada yang mendukungku dipundak, padahal smua anak pernah merasakannya. tak ada yang bisa kusambut pulang disore hari, padahal smua kawanku melakukanya untk ayahnya.
ayah, kau tau, ibu hanya sibuk dg adik2 yg punya ayah. dan sesayang-sayangnya ayah adik2 padaku, aku tau aku diperlakukan beda.
ayah, tadinya kupikir tak masalah hidup tanpamu. aku bisa melakukan segalanya sendiri. tapi saat aku sendirian, kau tau ayah, aku sungguh merindukanmu. aku mengutukmu, aku membencimu, aku menyalahkanmu atas semuanya. tapi lebih dari itu semua, ayah, aku sungguh-sungguh merindukanmu. aku memaafkan semua hal buruk yang pernah kau lakukan padahal aku tau kau begitu jahat padaku.
ayah, aku tak tau kau seperti apa. tak tau kau bagaimana, tapi aku berharap kau datang malam ini.
peluk aku, ayah. dalam mimpipun tak apa.

salam sayang,
putrimu


anita melipat suratnya dan memasukkan ke dalam amplop putih. ibu guru membagi-bagikan perangko untuk masing-masing anak. petugas pos yang baik hati membantu anak-anak menulìs alamatnya sendiri di amplopnya masing-masing.
ibu guru ingin anak-anak menulis surat untuk ayahnya kemudian dikirim kerumah masing-masing. ibu guru ingin anak-anak tau surat menyurat konvensional itu benar-benar ada. bukan hanya sejarah.
ibu guru sampai di meja anita, dan menemukan anak ìtu belum menuliskan alamat di amplopnya.
'anita, tulis alamat rumahmu di amplop'
'tapi, bu, ini surat untuk ayah. ayah tidak tinggal dirumah'
'lalu, dimana ayahmu tinggal?'
anita menunduk, air mata menetes di pipinya
'aku tak tau dimana ayah tinggal, buguru'

Juli 09, 2011

kusuma negara lepas tengah malam

lepas tengah malam, saya melintasi jalan kusumanegara seorang diri, merasakan hembusan dingin angin malam menyentuh kulit. menyaksikan warung-warung tenda mulai membenahi dagangannya, bersiap hendak pulang. mereka membentangkan tendanya di aspal, lalu melipatnya. salah seorang dari mereka mencuci perkakas di atas lubang got. kira-kira, apa yang ia pikirkan?

bapak-bapak becak mulai memasang kayu di depan becaknya, memasang sebongkah batu di depan masing-masing roda becaknya. membungkus dirinya dengan sarung, kemudian meringkuk dibecaknya. diganjal kayu agar ia tak jatuh. kira-kira apa yang dipikirkannya? apakah pikirannya sama dengan apa yang saya pikirkan?

lalu ada bunyi itu. krincing-krincing-krincing. setiap malam. setiap melewati jalan ini lepas tengah malam saya selalu berpapasan dengannya. pengemis tua, buta, berpeci miring, bertelanjang kaki. menyeret-nyeret harta bendanya yang terbungkus tas kresek hitam. setiap berjalan selalu menghentakkan tongkat berloncengnya ketanah. krincing-krincing-krincing. entah apa yang dipikirkannya...

saya melaju perlahan. merasakan angin malam yg masuk kedalam baju, dan menyentuh kulit saya. saya kembali memikirkan pertanyaan itu. pertanyaan yang selalu muncul saat saya sendirian: apa yang kau cari, ka?

: hehe. aslinya saya gak memikirkan apa-apa setiap melewati jalan kusuma negara tengah malam. saya sudah terlalu ngantuk.
:D