April 25, 2008

cerpen-cerpen kacau part 1

ceritanya, saya lagi beres2 kamar. E, lha kok saya nemu cerpen2 lama jaman penjajahan dulu. yawis, karena saya pengen buang semua kertas yang enggak terpakai, ya saya ketik cerpennya, trus saya simpen disini. Namanya juga cerpen amatir, jadi ya, cerpennya jelek kayak yang bikin, begitu.....\


Aku dan Ricky

“Dha, maafin aku, swear waktu itu aku memang lagi nganterin mama ke salon, trus ketemu selvi. Aku enggak bohong, kok, Dha, bener”. Ricky memohon-mohon padaku, sambil nyembah-nyembah segala. Mukanya udah kayak adek kecil minta permen aja.
Aku mendengus kesal
“ Kamu selalu aja punya alasan yang kamu pikir menyakinkan. Kamu tuh jarang ada pas aku butuhin. Kamu sibuk main bola pas aku sibuk nyiapin pesta ulang tahunku, kamu malah pergi ke gunung pas mama papa keluar kota. Kamu datang terlambat pas Boby godain aku, kamu juga lebih hafal jadwal pertandingan bola daripada hari jadian kita. Dan kamu lebih suka ketawa-ketiwi sama selvi, daripada nemenin aku nyari buku untuk tugas bu Salma. Padahal tadinya kamu bilang enggak bisa pergi karena nonton bola……”
Ricky menunduk diam
“Dha, tadinya memang mau nonton bola, tapi mama minta dianter ke salon, trus ketemu selvi. Maaf, dha….” Katanya lemah.
Aku bangkit dari bangku kantin sekolah yang sudah sepi itu, menghabiskan es jerukku dan melangkah. Ricky meraih tanganku. Ia ikut-ikutan berdiri.
“Dha, tunggu….”
Aku menyentakkan tangannya.
“Mending kita putus aja, deh, Rick,” kataku tanpa berani memandang wajahnya. Aku terus melangkah.
“Dha. Please, aku enggak bohong, enggak , sungguh, jangan pergi, dha, “Kalimat Ricky belepotan. Ia mengejarkau. Tapi aku terus berlari, sambil menggigit bibir bawahku, dan menahan air mataku yang nyaris tumpah ini. Dibelakangku Ricky menyentakkan kakinya degan kesal.
***
Itu kejadian satu mingggu yang lalu, seminggu ini aku selalu menghindari Ricky, biarpun Ia mengejar2 aku, aku tetap tidak mau bertemu. Ricky sering begitu, sebenarnya bukan karena Ia tertawa-tawa dengan Selvi yang membuat aku sebal, Aku tahu Ricky tidak akan naksir selvi, tapi Ricky sering sekali lebih mementingkan pertandingan sepak bola daripada ku ajak kemana-mana.
Aku benar-benar sebal pada Ricky.
Tapi memutuskannya? Sungguh, kalo bisa aku ingin menarik kata-katku itu.
Buktinya, hari minggu ini, aku sendirian. Baiasanya Ricky datang untuk sekadar nanya PR atau main halma di teras. Atau, paling sering, Ricky datang kerumahku untuk nebeng nonton bola, karena tivinya dirumah dipake nonton Sinetron sama Adiknya.
Aku menarik laci meja teras, mengambil sekotak halma didalamnya. Huh, apa enaknya main halma sendirian, pikirku. Kalo ada Ricky aku pasti menang. Ricky selalu saja berusaha maju tanpa memperhatikan lawannya. Jadi semakin Ia maju, maka semakin banyak jalan yang terbuka untukkku. Aku ketawa sendiri.
Aku menyingkirkan bunga plastik dari atas meja. Bunga dari Ricky, huh, kenapa sihm banyak sekali hal-hal yang berhubungan dengan ricky disini. Karton halma aku bentangkan diatas meja, buah-buah halma aku susun satu persatu. Seandainya ada Ricky…,
Tiba-tiba mataku silau oleh sinar lampu mobil yang memasuki halaman rumahku. Aku menoleh. Mobil Ibu Ricky. Aku segera bangkit. Tapi, ups, aku kan sudah putus dengan Ricky. Jadi, aku duduk lagi dan memandang sebal pada Ricky. Ricky keluar dari mobil sambil merapikan kemejanya. Huh, mau apa dia?
“ Hai, Firdha, ….” Sapanya sok ramah
Aku mendengus.
“Nungguin aku, ya?.” Tanyanya kegeeran.
Aku kembali mendengus, Ricky seperti tertohok hatinya. Kemudian Ia menunduk sambil memandangi ujung sepatunya.
“Dha, maafin aku, ya, please, marahnya jangan lama-lama dong, dan jangan putus, ya….” Ujarnya lirih, sabil melirikku hati-hati.
Aku melotot. Iya, Ricky, aku juga enggak mau marah lama-lama, kok, apalagi putus. Tapi, egoku bicara lain, gengsiku naik setinggi ubun-ubunku.
“Enak aja, pulang sana, nanti ketinggalan sepak bola. Lho….” Kataku ketus.
Ricky menunduk semakin dalam. Bahunya bergetar. Swear, aku sungguh merasa bersalah, Aku merasa begitu egois, defensif, reaktif, aku merasa begitu jahat.
“Firdha, aku enggak papa kok enggak nonton sepak bola, asal kamu maafin aku. Aku mau kamu jadi cewekku lagi.”
Ingin rasanya berlari kepelukannya, dan bercanda lagi dengannya. Tapi aku berpaling, aku enggak mau berlama-lama dihadapan cowok itu, takut luluh.
“Iya, terus nanti kamu enggak pernah ada lagi disaat aku butuhin, nanti kamu enggak mau nganterin aku nyari buku lagi, dan lebih senang pergi sama selvi? Kalo kesini malah nonton bola sama papa? Iya?”
Selesai mengatakannya, aku berbalik dan membuka pintu, ingin segera masuk.
Ricky mengejarku, Ia mencengkeram pegangan pintu degan kedua tangannya.
“ Enggak, kok, Dha, aku janji, enggak lagi, kok,….” Pintanya
Aku melotot lagi.
“pulang sana, aku mau tidur aja.” Aku melepaskan pegangan pintu dan meninggalkan Ricky yang masih mencengkeram kenop pintu.
“Aku enggak mau pulang sebelum kamu maafin aku!!” teriaknya
“terserah…..” Aku gantian teriak, dan berlari naik keatas, masuk kamar. Aku mendengar Ricky menutup pintu dan menghentakknan kakinya. Aku mendengar derit kursi ditarik. Ricky menunggu beneran? Ah, paling 5 menit lagi Ia bakal diserang nyamuk dan pulang.
Tapi, nyatanya sampai game komputerku gameover berkali-kali, aku belum mendengar suara mobil Ricky keluar dari pekarangan. Aku bergegas turun ke ruang tamu. Aku menyingkap gorden depan. Ya ampun, ternyata Ricky tertidur pulas dikursi teras. Huh, aku pikir, Dia sedang terbengong-bengon nungguin aku sambil sesekali menepuk pipinya yang digigti nyamuk. Aku bergegas keluar. Ricky harus segera dibangunkan, kalo mama papa pulang, dan Ricky masih disini pada jam 11, aku bakal dihabisi.
Ricky seperti suci sekali saat tidur, Wajah halusnya tampak polos dan lugu. Ia seperti bukan Ricky yang suka nyengir saat aku marahi. Ia seperti sangat jujur. Aku ingin sekali menepuk pipinya dan bilang, ‘kita jadian lagi, yuk…’. Tapi,
Aku menggelengkan kepalaku.
Aku melangkah dan menyenggol kaki Ricky dengan kakiku.
“Rick, bangun, udah malem, pulang sana, “ kataku. Ricky kaget, Ia mengusap matanya dan memandang berkeliling kebingungan. Aku berbalik berusah amenahan tawa.
Rickypun bangkit dengan sempoyongan. Matanya masih tampak mengantuk. Ia menyipitkan matanya dan mencoba melihatku.
“ Dha, aku tidur sini, ya, aku ngantuk banget. Aku enggak bisa nyetir sendiri. Diluar juga enggak papa deh, aku ngantuk banget.” Pintanya dengan mata setengah tertutup.
Aku menggelengkan kepala dan berkacak pinggang.
“Enggak bisa. Pokoknya pulang!!!!!!” teriaku.
Ricky menarik nafas panjang dengan jengkel.
“ Oke, oke, aku pulang, jangan teriak-teriak,” ujarnya tanpa semangat. Kemudian melangkah pergi menuju mobilnya. Ia nyaris terjatuh tersandung kerikil. Ia masuk ke mobil dan menyalakan mesin. Aku melihatnya melipat kedua tangan diatas roda kemudi, dan meletakkan kepalanya disana. Aku mengamatinya, Ia masih dalam posisi yang sama beberapa menit kemudian. Hei, Rick, kamu kenapa?
Tapi kemudian aku tahu. Aku menarik nafas
“Ricky….!!!!!!” Teriakku.
Darikaca depan, aku melihat Ricky kaget, terbengong-bengong, dan sadr ia baru saja tidur lagi. Ricky mengucek matanya sebentar, dan menjalankan mobilnya.
Mobil Ricky meninggalkan rumahku degnan cepoat, Aku segera masuk dan mengunci pintu,
Aku berbaring begitu sampai kamar. Tapi sekonyong-konyong pikiran-pikiran buruk berkelebat dalam benakku. Ricky menyetir dalam keadaan setengah tidur. Bagaimana kalo Ricky menabrak pohon, kepalanya terbentur dashboard, dan retak. Mobilnya ringsek, kaca depan pecah,dan Ricky terjepit didalamnya, tak bisa keluar, sampai pagi, sampai seseorang menemukannya dalam keadaan sudah tak bernyawa.
Setiap malam sesudah itu, hantu Ricky akan mengejar-ngejar aku, menyalahkan aku atas semua yang trjadi.
Atau, bagaimana kalo Ricky menabrak mobil didepannya, Tabrakannya begitu hebat sampai kedua mobil itu hancur dan meledak, dan Ricky hanya akan menjadi debu.
Aku bergidik membayangkan apa yang terjadi. Seharusnya aku mengantarnya pulang, dan nanti ada tante Mirna yang mengantarkan aku pulang kembali kerumah. Tapi aku malah nenyuruhnya pergi dalam keadaan mengantuk.
Aku tidak tau sejak kapan air mata ini turun, yang jelas aku khawatir sekali pada Ricky. Aku menelphon nomor rumah Ricky, tak ada yang mengangkat. Kemudian nomor hape Ricky, tidak aktif, Aku putus asa dan memutuskan untuk menunggu samapi besok pagi.
Semoga Ricky baik-baik saja. Baik-baik saja.
***
Sudah 15 menit berlalu sejak bel masuk berbunyi. Tapi aku tidak melihat Ricky dimanapun. Setiap gerakan diluar kelas tak bisa aku leawtnkan sedikitpun.
Jam 10.15, Rasanya sudah terlalu siang bial Ricky harus terlambat. Aku berjalan menyusuri koridor kelas. Semoga Ricky ada dikantin, sedang duduk dipojokan dan ketakutan masuk kelas karena terlambat.
Semoga ada Ricky disana, sedang nyengir kuda , dan tidak terjadi apa-apa padanya.
Aku berdiri didepan pintu kantin. Aku memandang berkeliling. Yang ada hanya gerombolan anak-anak yang berebutan makanan. Tak ada Ricky.
Oh Tuhan, dimana Ricky berada.
Jangan-jangan tadi malam, karena mengantuk, mobilnya nyasar sampe ke pinggir kota, mobilnya jatuh kejurang, Ricky meninggal, dan tidak ada yagn menemukannya. Dan sekarang Ia masih disana, tidak bernyawa.
Aku menggigil. Tidak-tidak, Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalo Ricky sampai meninggal.
Tiba-tiba sebuah tangan menepukku dari belakang. Itu pasti tangan polisi, rupanya Ricky sudah ditemukan, dan sekarang, mereka meminta keteranganku, karena akulah yang terakhir melihat Ricky. Aku membalikkan tubuhku
Dan aku melihat Ricky dihadapanku, tertunduk lesu, tasnya tersampir dibahu, Dan Ia utuh, tidak luka-luka,
“Ricky, kemana saja, sih, kamu enggak kenapa-napa, kan? Maaf, ya, tadi malam maksa kamu pulang sendiri. Aduh, senengnya bisa liat kamu lagi. “ Aku langsung berbicara tanpa henti. Aku meraih tangannya, memastikan tidak terjadi apa-apa pada tangannya, tubuhnya, kepalanya, apakah ada memar, ada bagian yang berdarah, Tidak, Utuh. Ricky utuh, tidak lecet sedikitpun.
Aku menarik nafas lega. Aku lupa aku sudah putus dengan Ricky.
“Hai, Dha, aku baik-baik aja, Cuma tadi terlambat, belum ngerjain tugas bu salma, kamu sih, enggak mau nyontekin aku….” Kata Ricky
Aku tersenyum dan mengacak rambutnya yang lebat dan hitam, Jengkel, lega, berdosa, menjadi satu dalam otakku.
“ Kamu, sih, makanya jangan bikin aku sebel. Aku pikir kamu sudah meninggal atau apa, gitu, habis kamu kelihatan ngantuk banget tadi malem.” Ucapku degan wajah cemberut. Ricky nyengir lebar, mukanya yang putih dengan 1-2 jerawt itu tambah cakep kalo tersenyum.
“ Aku kan bisa nyetir sambil tidur, “ Ia tertawa, “Dha, maafin aku, ya, aku bakal mau deh, kamu suruh apa aja.” Katanya serius, Aku terhenyak. Well, Rick, aku juga bakal bisa lama-lama marah padamu. Aku maju selangkah meraih tanggannya.
“Ya, deh, tapi kamu janji enggak akan duain aku dengan pertandingan bola manapun juga.” Aku menuntut.
Ricky nyengir, di lepakannya tanganku, dan ganti dia yang menggenggam tanganku dengan kuat. Sambil tangan kanannya menjepit hidungku dengan jempol dan telunjuknya,
“ya, deh, janji” Katanya.
Betapa bahagianya aku.
***
Hari minggu, sabtu kemarin kami menghabiskan malam minggu di kafe baru, puas berduaan sambil makan keripik. Hari ini, setelah, kami menyelesaikn peer kami, kami ngobrol diteras. Tapi kemudian pindah ke ruang tamu, karena tersa terlalu dingin. Aku baru saja meletakkan buah halmaku di puncak segitiga, ketika Ricky tiba-tiba terlonjak, telinganya tegak. Suara presenter pemnbawa acara sepak bola terdengar centil dari ruang tengah.
Ricky memandangku penuh harap.
“Please, Dha….” Katanya memelas
Aku mengangkat bahuku. Ricky tetap akan menjadi Ricky, pikirku. Ia bergegas ke ruang tengah.
“Sudah mulai. Oom?” Tanyanya pada Papa.
“Belum kok, duduk, gih” jawab Papa.
Aku mendengus kesal, dan menghentakkan kakiku.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo......