September 07, 2009

Finally, I Called Him Bapak

Mungkin karena sejak pertama kali diperkenalkan dengannya, saya memanggilnya Oom, saya jadi kebiasaan memanggilnya begitu. Bahkan setelah Ia menjadi Suami Ibu saya bertahun-tahun yang lalu. Kami, -saya, kakak saya dan adik saya- tetap memanggilnya begitu. Berkali-kali Ia meminta kami memanggilnya Bapak, atau Papah seperti 3 saudara kami yang lain. Ia menyelipkan keinginannya itu setiap kali ada kesempatan, Bahkan Ia menyebut dirinya sendiri Bapak sebagai kata ganti orang pertama tunggal ketika berbicara pada kami. Kami sudah pernah mencobanya, tapi tiap kali memanggilnya Bapak, maka kami tak akan mampu menahan gelak tawa kami. Aneh sekali memanggilnya dengan sebutan itu. Tidak ada maksud apa-apa. Hanya canggung saja. Dan rambutnya yang senantiasa panjang membuatnya makin aneh ketika dipanggil Bapak. Lagipula kami merasa Ia lebih keren bila dipanggil Oom, tampak lebih muda. =)

Meskipun tidak pernah tinggal dengan Ayah saya sebelumnya, sehingga saya tidak pernah punya perbandingan apapun untuknya, saya selalu merasa yakin, bahwa Ia adalah Ayah paling baik di dunia. Ia selalu lembut pada kami. Tidak pernah memarahi atau berkata kasar pada kami sekalipun. Ia juga tidak pernah membedakan antara kami, dan adik-adik saya yang lain. Dia adalah orang yang paling ribut mencarikan makanan kesukaan kami masing-masing saat kami berkunjung kerumahnya. Saya bahkan sempat geli sendiri padanya, pasalnya, karena saking inginnya memanjakan kami, semua pedagang makanan yang lewat depan rumah dipanggilnya satu-satu. Agar saya bisa merasakan semua masakan sunda katanya, -yah, tapi bagaimanapun, lidah saya tetap susah bersahabat dengan makanan serba aci dan daun-daunan mentah-.

Saya masih ingat ketika Ia memalingkan muka, berusaha menyembunyikan airmatanya, saat saya bercerita betapa payahnya saya bersepeda bolak-balik antara kampus dan tempat kerja. Atau saat Ia begitu kecewa ketika saya menolak uang semesteran yang ia tawarkan saat keadaan ekonomi keluarga mulai membaik. Sungguh, saat itu saya tidak berniat menyakiti hatinya. Saya hanya tidak suka berhutang budi saja. karena saya tidak pernah tau akan bisa membalasnya atau tidak. Dan saya ingat sekali, betapa air mukanya berubah menjadi kecut saat saya memanggilnya Oom keras-keras dikerumunan undangan misuda saya.

Ah iya, ia juga selalu berusaha melucu disetiap kesempatan. Sibuk tertawa-tawa saat kami saling bercerita dalam bahasa jawa, padahal saya tau, ia tidak terlalu paham bahasa jawa. Ia juga tidak pernah marah saat kebingungan mencari rokoknya yang kami sembunyikan karena ia terlalu banyak merokok. Ia hanya akan tertawa dan berjalan ke warung sebelah untuk beli permen mint. Dan yang lucu, Ia selalu mengingatkan saya untuk makan teratur setiap kali menelphon. Padahal, saya bahkan makan melebihi porsi makan orang normal. hehe.

Semuanya terasa biasa saja. Sampai saya pergi jauh dan tidak bisa pulang sebulan sekali. atau bahkan 6 bulan sekali. Tiba-tiba saja kau akan menjadi begitu sentimentil ketika kau mengingat keluargamu, saat kau jauh dari mereka. Tiba-tiba saja air matamu jadi gampang sekali meleleh saat mereka menelphonmu dan bertanya kapan akan pulang. Karena, memang benar, bahwa kasih sayang tidak akan mengenal kedalamannya sampai saat berpisah tiba.

Kemudian saat Ia menelphon, menanyakan kabar saya, -dan tentu saja, pertanyaan kapan pulang,ka?-, saya ingin sekali memanggilnya Bapak. Ia terdiam sejenak. dan berkali-kali mengucapkan kalimat syukur pada Tuhan, karena saya memanggilnya demikian. Saya tidak pernah tau, bagaimana mungkin seseorang menjadi begitu berbahagia hanya karena saya merubah panggilan padanya dari 1 suku kata menjadi 2 suku kata. Toh panggilan apapun yang saya berikan padanya tidak pernah merubah apa-apa. Ia tetap orang tua saya. Saya menundanya terlalu lama bukan karena apa-apa. Hanya canggung saja. Bukan karena tidak mau menerimanya atau apa. kalo alasannya itu si, malah jadi terlalu disinetronisasi.

Kedepannya saya memang harus membiasakan diri memanggilnya Bapak, dan berusaha untuk tidak tertawa setelah mengucapkannya. Canggung, sih, tapi tak apa, kalo itu membuatnya bahagia. Jadi, siapa yang peduli siapa ayah biologismu kalo kau punya Bapak sehebat ia. Iya, kan, Oom?, eh, Bapak?. =)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo......