Februari 21, 2010

cerpen: perempuan ke dua

setiap anak yang tidak tinggal dengan orang tuanya selalu berharapa bahwa ayah atau ibu meninggalkan mereka adalah orang hebat. mungkin seorang bintang film, seorang astronot, seorang pilot, seorang anggota dewan, atau siapapun mereka, mereka adalah orang hebat. Begitu juga denganku. dengan daya khayal kanak-kanakku yang tinggi, serta omongan orang-orang tentang ayah biologisku, aku berharap bahwa ayahku adalah seorang berperawakan tinggi besar, ganteng luar biasa, disegani oleh orang-orang disekelilingnya, dan berpangkat tinggi di angkatannya.

Tapi saat aku membulatkan tekad untuk menemuinya, menuntaskan rasa penasaran yang mengendap bertahun-tahun, alih-alih seperti yang kubayangkan, atau paling enggak orang biasa saja, aku justru kecewa berat dengan ayah biologis yang saat kutemui hanya tinggal nama saja itu.

"bener ya, embak ini gak ada hubungan apa-apa dengan pak irwan?", perempuan setengah baya itu bertanya padaku dengan pandangan menyelidik. aku mengalihkan pandanganku. sedikit melirik pada mesin obras yang terletak di sisi kiri ruang tamu sederhana ini.

"enggak, kok, bu, saya cuma mau silaturahmi aja. ibu saya dulu teman pak irwan." jawabku padanya. bukan jawaban yang jujur, sih. tapi itu yang ibu pesankan padaku, sebelum ia memberikan alamat terakhir pak irwan, ayah biologisku.

3 hari yang lalu, aku meminta pada ibuku alamat terakhir pak irwan, orang yang hanya kukenal lewat nama dan foto-fotonya saja. sebenarnya sudah sejak lama aku ingin bertemu dengan ayah biologisku. bukan untuk apa-apa. bukan untuk meminta warisan, mencaci maki, balas dendam, pamer bahwa aku bisa eksis tanpanya atau apa. aku cuma ingin bertemu dengan saja. ingin membuktikan omongan orang-orang di sekitarku yang katanya, perawakan, pembawaan dan watakku mirip sekali dengan ayahku.

dan siapa sangka, setelah bertahun-tahun tak pernah ketemu, malah ternyata ayah biologisku sudah meninggal sejak 2 tahun yang lalu. benar-benar mengecewakan. padahal selama ini aku selalu berdoa agar aku dapat bertemu dengan ayahku dalam keadaan baik, bertemu dengan keluarganya juga dalam keadaan baik. tapi rupanya Tuhan tidak mengabulkan doa yang terlalu banyak.

aku melirik foto berpigura besar di dinding sebelah kiri, tepat diatas mesin obras. tampak sebuah foto keluarga disana. dan percaya atau tidak, aku seperti melihat diriku sendiri disana. seorang laki-laki berpangkat letkol, perempuan separuh baya itu, seorang anak perempuan dan 2 orang anak laki-laki, semuanya berbadan gempal, berkulit gelap dan berambut keriting sepertiku. untung saja rambut keritingku sudah ku rebonding beberapa hari yang lalu, dan diet golongan darah yang kujalani sudah membuatku tubuhku susut beberapa bulan ini.

"ya beginilah, mbak, keadaan kami. Pak irwan meninggalkan banyak hutang setelah kematiannya. rumah kami sudah disita orang. untunglah kami tidak diusir dari rumah dinas ini. tapi entahlah beberapa waktu lagi." katanya melanjutkan obrolan.

aku mengangguk. dalam hati bersukur karena kehidupanku jauh lebih baik dari keluarga ayahku ini.

"sebenarnya kami gak akan kekurangan seperti ini kalo saja bapak lurus-lurus saja saat bekerja. ia sering menggunakan pangktnya untuk macam-macam. bapak orangnya keras. kasar. kalo diberitahu malah marah-marah gak karuan. saya saja pernah di tonjok sampe pelipis berdarah."

aku menunduk, walau perempuan ini gak tau, kalo aku anak pak Irwan, malu juga rasanya punya ayah yang suka main tangan.

"anak saya yang perempuan itu, juga pernah di tendang. sekarang entah dimana anak saya itu. sudah lama dia pergi dari rumah sejak bapaknya mencaci maki pacarnya."

aku tambah menunduk. aku bisa mendengar ibu itu menyusut hidungnya.

"meninggalnya bapak juga dalam keadaan gak baik. minum-minum di kafe, terus kena serangan jantung. saya sampe malu sama tetangga, mbak."

"Rofik, yang nomor dua sekarang cuma bisa bantu-bantu saya di rumah. dia depresi. malu sering di ejek tetangga sebelah, karena bapaknya gak beres." ia melanjutkan.

dan seorang anak laki-laki seumurku, berperawakan besar, berkulit gelap, berambut keriting dan bermata besar, menghampiri bu irwan, duduk sambil menggelayut manja padanya.

"harapan saya cuma Haris, anak saya nomor 3. alhamdulillah, dia sudah bekerja sebhabis lulus tahun lalu. cuma jadi cleaning servis. tapi lumayanlah, sudah tidak jadi beban lagi."

tiba-tiba aku ingin cepat-cepat pergi dari rumah dinas sederhana itu. bukan cerita macam ini yang ingin ku dengar tentang ayahku. bukan cerita tentang betapa kasarnya ia, alkoholik, ato pejabat yang melindungi judi dan peredaran minuman keras seperti itu. aku ingin mendengar cerita yang baik-baik tentang ayah bioligisku. tentang keluarganya yang bahagia. tentang alasan ia meninggalkan ibuku karena ia begitu mencintai keluarganya. tentang betapa keren ayahku dimata orang-orang terdekatknya. karena kalo seperti harapanku itu, aku bisa mengerti dan lego lilo nrimo dengan perlakuannya pada ibu dan aku. bukan cerita buruk seperti ini. apalagi mengingat ia telah meninggal.

memang seharusnya aku gak berharap terlalu banyak. karena lagi-lagi, orang yang punya banyak harapan, harus bersiap-siap untuk kecewa. untuk kekecewaan sebesar ini, sepertinya aku gak terlalu siap.

dan entahlah, aku ada di garis tepi antara bersukur dan sedih. bersukur karena ternyata keuarga ayahku juga gak kalah sengsaranya denganku, atau sedih karena mereka gak sebahagia yang kuharapkan. duh gusti, semoga aku tidak sejahat yang kupikirkan.

"gak ada hubungan apa-apa kan, mbak?". Tanya bu Irwan lagi penuh selidik.

aku menggeleng sambil mengigit bibirku. aku tidak berani memandang wajah tuanya yang nelangsa. usianya pasti gak jauh beda dengan ibuku. tapi mungkin ia tak serajin facial dan body language seperti ibuku.

"kemarin2, banyak orang kesini mau nagih hutang. bagaimanapun, pak irwan kan suami saya. jadi saya terpaksa bertanggung jawab." katanya lagi.

aku tersenyum, mengangguk, dan berjalan menuju mobilku diparkir.

"sebenarnya hutangnya pada saya dan ibu saya banyak, bu, tapi sudahlah, saya iklas, kok."

iya, hutang meninggalkan aku sejak kecil. hutang menjadikan ibuku perempuan kedua dan mencampakkannya. hutang membuatku miskin. hutang karena membiarkankn berjuang sendiri. dan hutang mengecewakanku setelah kematiannya.

Bu irwan bertubi-tubi mengucapkan terima kasih. ia tampak salah tingkah. perempuan polos yang menikah dengan penipu. sungguh malang nasibnya. jauh lebih malang dari ibuku, ternyata.

tiba-tiba ponselku berdering. my secret baby.

"sayang, hari ini aku gak jadi ketempatmu. istriku merajuk. minta di temenin terus. aku gak bisa curi-curi waktu untuk menemuimu." suara laki-laki di ujung sana menelusup ke telinga. suarannya selalu membuatku luluh. pria beristri. satu-satunya pria yang membuatku bisa jatuh cinta. satu-satunya pria yang mampu membuatku rela menyerahkan segalanya. padahal aku tau, jelas ia gak akan pernah bisa menjadi miliku.

"iya, gak papa. lagian hari ini aku jadi pergi klinik. kayaknya bapak gak bisa kesini dalam beberapa hari." jawabku sambil mengelus perut.

"sayang, kamu jadi aborsi?. jangan sayang, dosa, aku janji akau menikahimu, kok."

aku tersenyum sinis. hah?. dosa?. setelah semuanya, bisa-bisanya kita berfikir tentang dosa?.

"gak. aku akan tetap ke klinik. sekalian men-sterilkan kandunganku. agar hubungan kita aman. dan gak ada korban berikutnya."

klik.

aku mematikan ponselku. iya, supaya tidak ada korban berikutnya. satu perempuan saja. entahlah, aku tak pernah habis pikir. bagaimana bisa buah apel selalu jatuh tidak jauh dari pohonnya. aku takut buah apelku kelak juga jatuh tidak jauh dari pohonnya. karena itu aku memutuskan untuk tidak berbuah saja. agar tak ada lagi buah apel yang jatuh di dekat pohonnya.....