September 18, 2009

Berjubel-jubel

Seorang teman baik pernah mengeluh pada saya, katanya sekarang waktu serasa berlari. Rasanya baru kemarin ia berpacaran, tau-tau sekarang buah hatinya sudah berusia 2 tahun. Ia merasa sekarang jarum jam berputar semakin cepat dari hari ke hari. Ah, saya tidak setuju dengannya. Bagi saya, waktu sekarang terbang. Dengan kecepatan tinggi tentu saja. Sepertinya baru kemarin tanggal 1 Ramadhan, dan wuzzzz, tiba-tiba sekarang Ramadhan sudah hampir habis.

Seperti kota-kota lain, kota kecil tempat sekarang saya tinggal menjadi semakin semarak. Cenderung bising malah. Tiba-tiba saja truk-truk besar berdatangan. Mereka parkir berderet-deret memenuhi badan jalan. Memuntahkan muatannya pada setiap gudang. Biskuit, baju-baju, minyak, telur, sirup, bumbu-bumbu, beras, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Hotel-hotel kecil mulai ramai. Orang-orang bermuka asing mulai tampak disana-sini. Mereka memakai baju-baju bagus untuk ukurannya. membawa serta anak dan istrinya, bersiap-siap pulang ke jawa. Wakil-wakil dari perusahaan besar berdatangan, dan membagi-bagikan kupon sembako murah. kembang api dan bunyi mercon turut serta menambah kemeriahan. Pasar yang tadinya jam 8 malam mulai berkemas kini memperpanjang jamnya. Sampai lepas tengah malam. Dan semua orang tampaknya takut kehabisan bahan makanan dan pakaian. Semuanya tumplek blek jadi satu. Membuat kota kecil yang tadinya tenang ini menjadi ramai siang dan malam.

Jangan tanya apa saya menyukainya. Tentu saja saya tidak pernah menyukai suasana yang bising dan penuh orang seperti ini. Saya tidak pernah habis pikir dengan mereka. Bukankah lebaran berulang setiap tahun?. Tapi kenapa kebisingan dan ke-amburadulan-nya terus berulang?. Kenapa si harus membeli apa-apa mepet waktu begini?. kenapa enggak jauh-jauh hari sebelumnya. Atau kenapa enggak pas habis lebaran?. Harganya pasti jauh lebih murah. Dan tentu saja, tidak perlu berjubel-jubel seperti ini.

Saya juga bukan pe-belanja atau teman belanja yang baik. Beberapa hari yang lalu teman saya memaksa saya untuk menemaninya belanja baju selepas maghrib. Dan belum-belum, saya sudah membuat 2 pelayan di 2 toko baju sakit hati. yah, begitulah, lagi-lagi saya tidak bisa mengerem mulut lancang saya untuk tidak mengkritik pelayanan si embak-embak itu. Iya, saya tau, bekerja berjam-jam dengan pengunjung yang membludak membuatnya lelah. lha tapi apa peduli saya, saya kan calon pembeli yang potensial -ehm, maksud saya teman saya-. Dan bagaimanapun, konsumen masih raja, kan?. Akhirnya saya melepas teman saya belanja sendiri. Saya lebih memilih minum segelas es campur di trotoar sambil ber-facebook dengan hape dekil saya.

Saya sih lebih baik tidak membeli apa-apa kecuali terpaksa daripada harus menjadi sarden hidup dipasar yang penuh manusia. Lagipula lebaran kan tidak harus merubah kita menjadi mahluk paling komsumtif didunia, kan?.

Hmmm, mungkin karena saya masih berstatus single saja, sehingga saya menjadi begitu sinis dengan orang-orang yang berjubel-jubel itu. Mungkin karena saya masih hanya memikirkan kebutuhan diri sendiri saja. Jadi saya tidak terlalu memusingkan kegiatan belanja ini-itu dan memasak ini-itu menjelang lebaran. Bagi saya, asal tempe masih diproduksi dan bisa nangkring di piring saya tiap hari aja, udah berasa lebaran setiap saat. Mungkin pikiran saya akan berbeda sama sekali ketika saya menikah dan berkeluarga kelak. Karena pada saat itu kebutuhan bukanlah kebutuhan saya sebagai pribadi tunggal saja. Tapi juga kebutuhan anggota keluarga yang lain. Kan tidak mungkin hanya karena saya benci kebisingan, saya jadi tidak membeli apa-apa untuk lebaran. Mungkin saya hanya akan mencari cara yang lebih praktis saja.

Jadi, saya tidak menyalahkan mereka yang berdempet-dempetan dipasar itu. Mungkin karena ndilalah THR diberikan mepet pas hari raya, hingga mereka harus belanja pada saat-saat ini. Mungkin mereka tidak mau malu kekurangn snack saat sanak saudara datang pas lebaran hingga mereka harus berbelanja sebanyak itu. Mungkin akan ada banyak tamu hingga mereka harus memasak aneka masakan banyak-banyak. Atau mungkin mereka menyukai sensasi belanja sambil berdesak-desakan begitu. Sekali setahun, kan?. Dan, yah, ini lebaran, jadi sudah sepantasnya dirayakan.

Hanya mungkin cara mereka kurang praktis. Dan agak terlalu berlebihan. Hingga terkesan brutal dan tidak terkendali. Sepertinya semua pelajaran dan pelatihan menahan diri sebulan ini jadi terlupakan. Mungkin tidak perlu sebanyak itu. atau seheboh itu.

Saya jadi inget kata seorang uztad -entah siapa namanya saya lupa-. Katanya Ramadhan seharusnya menjadi pesantren kilat bagi kita. Setelah lulus, dan kita kembali ke 11 bulan biasa lainnya, seharusnya, kita bisa mengamalkan apa-apa yang kita pelajari dan telah kita latih di bulan Ramadhan.

Ehm, saya kok jadi terlihat kayak-bener-bener-nya-aja. Padahal, waktu yang terbang itu benar-benar berasa terbang percuma aja. Rencana-rencana yang telah tertulis masih berupa rencana. belum di-follow-up sama skali. -eh, kok malah curhat- oke, yuk mari kita kembali ke fitri, semoga bulan-bulan berikut setelah ini, semua kesabaran, pengendalian, dan keiklasan yang kita pelajari bisa tetap kita praktekan.=D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo......