Februari 08, 2011

suatu sore di rumah sakit

Beberapa hari ini Tatiyana tidak masuk kuliah. Eyangnya dirawat dirumah sakit. Tatiyana harus menungguinya karena cuma ia yang tinggal dengan eyangnya di Jogja. Ayah dan Ibunya yang tinggal di jakarta, belum sampai di Jogja, karena masih ada pekerjaan. selama beberapa hari itu, aku belum sempat menengok eyang tatiana di rumah sakit, karena selesai kuliah aku harus segera menuju warnet tempat kerjaku.

untunglah hari ini aku bisa mengambil jatah liburku di warnet. aku sudah berencana menengok eyang di rumah sakit wirosaban, tempat eyang tatiyana di rawat. pagi tadi, sebelum aku berangkat ke kampus, aku sudah menelphon Tatiayana. Ia masih di rumah sakit. ayah ibunya sudah tiba, dan kalau aku mau menengok Eyang-nya, aku harus ke rumah sakit wirosaban, di bangsal edelweis.

rumah sakit ini besar sekali. Tatiyana bilang, kalo aku masuk lewat igd, aku bisa lebih cepat sampai daripada aku lewat depan. masalahnya aku tidak tau dimana pintu IGD-nya. aku mau menelphon Tatiyana untuk menjemputku di pintu depan, tapi sial, batre ponselku habis. aku pasti lupa tidak men-charge-nya tadi. baiklah, aku akan bertanya pada petugas disana. seorang perawat memberi petunjuk jalan padaku menuju bangsal edelweis.

aku hanya perlu meneluuri lorong utama, gang pertama ke kiri, kemudian lurus ke selatan, bangsal edelweis ada di pojok selatan rumah sakit ini. seperti rumah sakit lain pada umumnya, rumah sakit ini menguarkan aroma obat-obatan yang tidak kusukai. baunya menusuk hidung. dinding-dinding rumah sakit ini di cat warna hijau muda. separohnya hijau tua. dan lantainya terlalu licin. sepatu karetku berdecit-decit tiap kali aku melangkah. disepanjang jalan aku bertemu dengan suster-suster muda berwajah suram. sesuram rumah sakit ini.

bangsal edelweis. aku melihatnya setelah aku sampai di depan pintu bangsal kenanga. bangsal kenanga, flamboyant, krisan, dan sampailah aku di bangsal edelweis. aku membuka pintu kayu warna hijau yang lebih pendek dari tubuhku. tidak ada orang. dimana suster-suster jaga, tanyaku dalam hati. aku ingat tatiyana tadi pagi bilang kamar eyangnya ada di sisi selatan. nomor satu dari tempat para perawat berjaga.

aku membuka pintu kamar nomor satu dengan pelahan. sepi sekali. tidak ada tatiyana disana. juga keluarganya. hanya eyang tatiayana sendirian, duduk di tepi tempat tidur. kakinya terjuntai ke bawah. ia sedang menyisir rambutnya yang beruban saat aku datang. ia mengangkat mukanya, dan tersenyum kepadaku. mukanya tuanya pucat,ada selang yang tertancap ditanganya yang memegang sisir. aku menghampirinya, dan mencium tangannya.

"apa kabar, yang? maaf reta baru sekarang bisa menengok eyang." kataku.
eyang tatiyana tersenyum dan meletakkan sisirnya.
"sibuk kerja diwarnet, ya?" tanyanya.
aku tersenyum.
"gimana, yang, sudah enakan, ya? kapan eyang boleh pulang? reta kangen, nih, kolak pisang bikinan eyang."
"eyang sudah sehat, kok, ini sebentar lagi eyang pulang. bosen eyang dirumah sakit ini. makanannya gak enak." ia berbisik sambil tertawa kecil.
aku ikut tertawa.
"dirumah sakit memang makanannya gak enak, yang." kataku menimpali.
"eyang kangen sama eyang kakung. pengen mengulang-mengulang kenang-kenangan jaman dulu. hidup terlalu lama didunia dengan banyak kenangan sungguh menyiksa sekali, ta." eyang tatiyana berkata sambil menerawang.
muka tuanya terlihat pucat. iya, pasti menyesakkan sekali hidup hanya berteman dengan kenangan akan orang yang dicintainya. eyang pasti kesepian hidup dengan tatiyana saja yang sibuk kuliah. aku tak tega melihat wajahnya yang sedih.
aku melihat sekeliling kamar ini dan melihat tas tatiyana di atas lemari di pojok ruangan.
"yang, tatiyana mana?"
"baru keluar. tuh, tasnya ketinggalan. anak itu memang slebor. tapi sabar sekali ia. menunggui eyang tiap hari. dia juga tidur disini tiap malam,lho, ta." kata nenek sambil menerawang.
"memang kadang-kadang eyang dan tatiayana sering berselisih pendapat. yah, namanya juga beda generasi. pikiran anak jaman sekarang berbeda dengan eyang yang sudah puluhan tahun hidup di dunia. banyak hal-hal yang tidak sama. kenangan eyang waktu muda berbeda dengan jaman sekarang."
aku tersenyum. iya, tatiyana memang sering mengeluh tentang eyangnya yang terlalu kolot. tapi aku tau pasti, tatiyana sayang sekali dengan eyangnya.
"dia juga cerewet sekali dengan jam makan eyang. dia itu selalu memaksa nenek menghabiskan makanan-makanan tidak enak yang di berikan oleh perawat. padahal bukannya eyang tidak mau menghabiskan. makanannya tidak enak, ta. dan lidah eyang pait."
"namanya juga lagi sakit, yang. semua yang enakpun tidak akan terasa enak." kataku sambil memegang tangannya.
"coba kamu tengok ke luar, ta, kayaknya tatiyana datang. pasti ia mau mengambil tasnya yang ketinggalan." kata eyang lagi.

aku berdiri, dan menuju pintu untuk keluar. aku melihat tatiayana baru saja membuka pintu kayu setengah badan di bangsal ini. mukanya pucat. matanya merah. tatiyana pasti habis menangis. ia kaget melihatku disini.
"ta, kok kamu disini?." tanyanya.
"iya, kan nengok eyang."
"ta, eyang sudah meninggal...." kata tatiyana.
kemudian ia menghampiriku, dan menangis sejadi-jadinya.
eyang? meninggal?
aku bingung sekali.
"ta ta tapi, na, aku baru saja menengoknya." kataku linglung.
tatiyana malah menangis semakin keras.
"eyang sudah meninggal, ta. kami mau membawanya pulang ke rumah. aku kesini mau mengambil tasku yang ketinggalan."
hah? mana mungkin.
aku menyeret tatiyana ke kamr pertaman di bangsal ini. kamar eyang tatiyana dirawat. pintunya berderit saat ku buka.
tak ada siapa-siapa disana. kamarnya rapi. tak ada eyang tatiyana yang sedang duduk menyisir rambutnya. tidak ada selang infus. hanya ada tempat tidur kosong, lemari di pojokan, dan tas tatiyana diatasnya.




suatu siang di rumah sakit wirosaban. :D

1 komentar:

  1. Cerita seperti ini selalu menarik, sentimentil yang tidak harus mengharu biru, juga bukan sok bermisteri. ^_^
    Dan seringkali menyisakan pertanyaan, beneran gak nih? hehehe

    BalasHapus

monggo......