Desember 08, 2010

hanya jika membuat kita lebih baik


Namira teman ku adalah sosok perempuan muda masa kini yang dinamis. Cantik. Langsing. Periang. Punya posisi bagus di tempat kerja. Populer. Dan punya banyak deretan pria-pria pengagum. Berbeda denganku yang cenderung introvert, dan malas berinteraksi dengan orang baru. Dua sifat yang sangat berbeda, ya? Rasanya tak percaya kami bisa bersahabat sekian lama.
Ummm. Maksudku, aku menanggap namira sahabat, karena kebetulan Cuma dia satu-satunya teman dekatku. Tapi rasanya, namira hanya menganggapku tempat sampah curhat saja. *miris*
Seperti hari ini misalnya. Setelah beberapa hari Namira tidak menujukkan batang hidungnya, tiba-tiba saja ia muncul pada jam makan siang di ruangan tempatku bekerja. Matanya sembab, rambut lurusnya yang biasanya sempurna dibiarkan kusut masai. Ia memakai sweater merahnya yang kedodoran. Celana senam hitam yang membalut tungkainya. Dan sepasang sandal rumah yang sudah buluk. Ia berkali-kali menyusut hidungnya.
Aku tidak heran dengan adatnya ini.
Pasti masalah viktor, cowoknya yang terakhir.
“elsa, aku putus dengan viktor. Hiks. Hiks. Hiks.”
Kannnn, apa kubilang.
3 bulan yang lalu ia juga tampak sangat menderita saat putus dengan ferdy.
5 bulan yang lalu ia hampir bunuh diri saat putus dengan aris.
Setahun yang lalu, ia bahkan sempat di rawat dirumah sakit karena kekurangan nutrisi saat putus dengan david.
Ipk-nya Cuma satu koma, waktu ia putus dengan andre menjelang ujian akhir semester saat kuliah dulu.
Makanya aku tidak terlalu histeris dengan keadaan namira.
“elsa, padahal kami sudah merancang surat undangan kami. Hiks.hiks.” katanya lagi.
What?
Bayangkan, baru pacaran 3 bulan dan sudah merancang surat undangan?
“huhuhu. Kami juga sudah akan menamai anak-anak kami kelak.”
Sumpah. Aku gak bisa menahan tawa.
“kok malah ketawa, si, els?” ia bertanya dengan sewot.
“lha kamu, baru pacaran 3 bulan kok udah rencana macem-macem. “
“karena aku bosan menjadi lajang, els. Aku ingin cepat-cepat menikah. Aku sudah 27. Pacaran membuatku menderita di akhir periode. Aku ingin bahagia, mempunyai keluarga kecil yang harmonis. Happily ever afterlah pokoknya.”
Ia mengambil tissue di meja kerjaku dan mengusap wajahnya setelah mengatakan itu.
“tapi viktor itu pemboros. metroseksual”
Yeah, namira mengeluhkan ini di awal jadian. Padahal tadinya ia mengharapkan pria yang menjaga penampilan.
“ia kurang suka anak-anak. “
Namira juga mengeluhkan ini paska ia pergi ke pesta ulang tahun ponakannya mengajak viktor.
“matanya suka jelalatan kemana-mana”
Ini juga pernah dikeluhkan. Sebentar lagi ia akan menyebutkan sederet sifat buruk viktor.
“pecemburu, suka omong besar, tidak suka makan yang pedes-pedes, dan blablablabla”
Nahhhh, kan……
Ajaib, ya? Bagaimana bisa cinta tiba-tiba berubah menjadi seperti ini.
Aku menyingkirkan nota-nota penjualan ke pinggir meja, dan menatap namira.
“Nam, inget gak, saat kita sama-sama masih jomblo?” tanyaku.
Namira berhenti terisak, dan menatap langit-langit kantorku.
“inget pergi ke parang tritis? Jalan-jalan wisata kuliner di demangan? Gila-gilaan di foto box?” kataku lagi.
Namira tersenyum.
“ya ingatlah. Nonton dvd gokil di rumahku sampe mamah marah karena kita cekikikan terus? Jalan-jalan ke Surabaya, trus menggembel di Bandung. Aduhhh, inget, deh. Happy-happy pokoknya,”
“menurutmu, lebih bahagia mana menjadi lajang atau menjalin hubungan?”
Namira diam.
“Menurutku, Nam, kalo menjadi single saja kita sudah bahagia, seharusnya kita hanya menjalin hubungan kalo hubungan itu bisa menambah kebahagiaan kita, membuat kita semakin kuat, membuat kita lebih hebat, lebih baik. lain dari itu, ya tinggalkan saja. Bukankah menjadi lajang saja kita sudah cukup bahagia?”
Aku mengendikan bahuku. Menatap Namira yang masih terdiam. Bukankah happily ever after hanya akan kita dapatkan dengan orang yang tepat? Bukan terpaksa ditepat-tepatkan?

1 komentar:

monggo......