September 07, 2010

pembenci mudik


Bagaimana mungkin kita merasa kehilangan, padahal kita tidak pernah memiliki.



Rasanya setiap tahun, hal yang paling penting bagi orang2 saat menjelang lebaran adalah mudik. Orang-orang lebih mementingkan acara mudiknya daripada memenuhi tempat-tempat ibadah dengan ibadah yang makin getol. Keluarga dan sanak saudara benar-benar menjadi prioritas utama berlebaran orang-orang di negeri ini. Tak pernah ada yang jera dangan aneka Jenis kecelakaan yang terjadi setiap tahun. Dan aneka kejahatan tentu saja. Demi kampung halaman dan keluarga dirumah, kata mereka. Padahal kalo hanya ingin menengok kampung halaman dan keluarga dirumah, memangnya harus pas lebaran? Kalo hanya untuk pulang dan menengok saudara di rumah, untuk apa harus repot2 membawa aneka macam perhiasan, aneka kendaraan dan barang2 mewah saat mudik? Kadang2, saya curiga ada sedikit niat pamer saat orang-orang mudik.

“lihat, nduk, si Tina anaknya lek warno itu, lho. Baru 1 tahun dijakarta, sekarang kemana-mana kalungan hengphon. Katanya mbak siti, bentar lagi dia mau dilamar. Kenalannya dijakarta sana, nduk. Pegawai negeri.” Begitu kata mbah simak saya 8 tahun yang lalu. Saat saya untuk pertama kalinya pulang mudik ke purworejo, kota kelahiran saya.

Bukan mudik tepatnya, karena saya hanya pergi satu jam kearah timur. Ke yogyakarta, kota pelajar yang dipenuhi pendatang, hingga sebagian warga aslinya justru bekerja pada pendatang itu. Tapi mengikuti apa yang biasa di gembar-gemborkan orang, pulang saat hari raya seperti itupun juga disebut sebagai mudik.

“ndak usah sekolah tinggi-tinggi, nduk. Buat apa. Wanita itu dimana-mana nantinya juga hanya akan menjadi kanca wingking. Tugasnya ya ming melayani suami. Masak. Manak. Macak.”

Seperti biasanya saya diam saja. saya tidak pernah mendebat mbah simak. Memang begitulah orang tua. Menjadi orang yang lahir dimasa penjajahan, tanpa bangku sekolah sama sekali, yang diketahui mbah simak ya memang begitu. Subuh bangun, nenuwun sama Gusti, memasak, mencuci baju, membersihkan rumah, melayani suami dan anak-anak. Begitu saja kegiatannya. Paling cuma setiap jumat sore saja beliau pergi ke pengajian dengan simbah-simbah lainnya. Jadi tidak akan pernah berguna kalau aku mendebatnya, menjelaskan tentang emansipasi, kartini, cut nyak dien dan lain-lain padanya. Satu-satunya hal yang ia ketahui tentang kartini adalah kain sutera ungu yang disimpannya bersama jarik-jarik batik dilemari jati. Salah satu benda yang tidak boleh saya pakai untuk bermain –main saat kecil.

“ora oleh, nduk. Ini kerudungnya ibu kartini. Simak belinya mahal. Dulu, pas simak menyang jogja sama mbah kakekmu. Ibu kartini itu pahlawan. Kerudungnya ora ilok yen di nggo dolanan.” Lalu beliau merebutnya dari tangan saya, dan menyimpannya di lemari jati, di rak yang paling tinggi. Hingga tubuh kec il saya tidak mampu meraihnya lagi. Setelah dewasa, kadang-kadang saya berfikir bahwa mungkin saja simbah simak saya hanya di tipu orang perihal kerudung sutra ungu itu. Kok bisa kerudung ibu kartini yang dijepara tiba2 ada di Yogyakarta.

“nduk, kapan sekolahmu selesai? Kapan nggonmu dilamar priyayi? Simak udah pengeeeen nggendong buyut. temanmu si menik kae, lho. Anake 2. Jaaaan, gantheng temenan. kemaren simak, ketemu yu amat katul, ngemban anaknya menik yang baru pulang dari Jakarta itu. Owalah, nduk, simak jadi pengen ndang2 ngemban buyut juga. Mumpung isih kuat, nduk.”

Katanya di hari lebaran 5 tahun yang lalu. Di balai-balai belakang rumah kami.

Itulah yang tidak kusukai dari budaya mudik ini. Pulang. Dan pamer pada tetangga. Hingga semua anak muda di kampung saya semua pergi ke kota. Bagaimana nggak pengen, melihat tetangga-tetangga yang pulang mudik selalu gemerlap dan tampak lebih modern dari anak-anak kampung? Bagaimana nggak ngiler, melihat para tetangga menjadi lebih cantik dan lebih melek mode sepulang dari Jakarta? Kalo tidak menjadi kaya,mampu membangun rumah gedong magrong-magrong, maka ia akan dilamar para priyayi sugih. Kalo nggak pegawai negri, ya juragan dari Jakarta, ato setidaknya, anak juragan.

Maka jadilah rumah simbah simak saya menjadi rumah terburuk dikampung saya sekarang. Saat smua anak dari setiap keluarga lulus sekolah, menjadi pekerja di Jakarta, dan mampu mengirim uang ke kampung halaman untuk membangun ruma h-rumah mereka menjadi gedong magrong-magrong, maka rumah simbah saya semakin keriput mengikuti kulitnya. Dan saya, si cucu durhaka yang tidak mau pergi ke Jakarta ini akan menjadi contoh yang buruk di kampung saya.

“jangan contoh sumirah cucune mbah atmo kae, yo, nduk, le. Sekolah ning tetep kere. Mesake simbahe. Wis tuwo ning ora tau dikirimi duit. Mulakno sekolah sing pinter, yo, le, nduk. Gek ndang lulus. Gek ndang kerjo maring Jakarta. Dadi wong mulyo. Mulyake wong tuwo.” Begitu para orang tua menasehati anak-anaknya.

Lihat, Kadang-kadang, budaya mudik yang tersisipi niat pamer membuat para orang tua menjadi matre. Yang mereka tau adalah, orang2 yang mudik selalu tampak lebih keren. Jakarta itu keren. Uang lebih banyak disana daripada di kampung. Mana mereka tau kehidupan Jakarta sebenarnya.

Dan lebaran 4 tahun lalu adalah mudik saya yang terakhir. Tanpa simbah simak tentu saja. Simbah simak meninggal 5 hari sebelumnya. Itu mudik saya yang terlama, saya ingat, membatalkan smua pekerjaan partime yang saya dapatkan demi membayat uang semesteran, dan tinggal di rumah reot simbah saya untuk menangisinya setiap hari. Dan sepertinya, saya belum pernah merasakan kehilangan yang lebih besar dari ini.

Seminggu setelah lebaran, pakdhe saya yang tinggal di Surabaya datang untuk membereskan segalanya. Segalanya. Termasuk menjual tanah dan rumah reot peninggalan simbah kakek saya. Pakdhe membagi sepertiga hasil penjualan itu untuk saya. Karena ibu saya pergi saat usia saya satu minggu, kata pakdhe, maka saya berhak mendapatkan warisan itu sebagai pengganti ibu. Saya meminta pakdhe untuk menyimpannya saja.

Tidak enak rasanya menggunakan uang hasil penjualan rumah yang saya tinggal disana lebih dari 18 tahun.

Sejak hari itu, praktis saya tidak mempunyai kampung halaman lagi. Saya mengajukan surat pindah ke Yogyakarta. ktp saya menjadi ktp jogja, dan saya diakui sebagai family ibu kos agar bisa masuk ke kartu keluarga mereka.

Maka lebaran-lebaran setelahnya, saya selalu bingung kalo ditanya mau mudik kemana.

Sejak hari ke seminggu sebelum lebaran, teman-teman kerja dan teman-teman kos akan sibuk membicarakan keluarganya dirumah. Tentang ibunya yang selalu membuat kue nastar, tentang budhenya yang ketika pulang kampung membawakan bertoples-toples kue kering, tentang sepupunya yang artis, tetang wisata bersama keluarganya ke pantai. Bla bla bla bla bla. Kecut muka saya mendengarnya.

Tiga hari menjelang lebaran kos-kosan sudah sepi. Hanya tinggal saya. Dan pak satpam yang asli orang kampung sini. Semuanya mudik, termasuk keluarga ibu kos saya. Sebenarnya setiap lebaran paldhe saya yang tinggal di Surabaya selalu menawari saya untuk lebaran dirumahnya. Mungkin ia kasihan, karena hanya tinggal dialah keluarga saya satu-satunya. Tapi, toh, sama saja, pakdhe saya juga akan mudik ke jember, kampung halaman istrinya. Jadi saya lebih memilih di kos-kosan saja. Sendirian. Menontoni berita- berita tentang mudik –yang lebih banyak berisi kemacetan dan kecelakaan-, dan mengutuk pemerintah karena tidak pernah belajar dari tahun-ketahun.

Setelah semua orang sudah kembali, baru kemudian saya akan ke purworejo. Ke kuburan mbah simak dan mbah kakek saya. Disana saya biasanya ketemu pak gimin. Juru kunci. Yang juga ayah teman saya waktu sd, wagito. Biasanya saya akan menanyakan kabarnya, dan kemudian kabar wagito. Saya lupa di lebaran yang keberapa pak gimin bercerita kalo wagito sudah menikah, karena lebaran satu tahun yang lalu, pak gimin bercerita kalo istri wagito sudah meninggal di jakarta. Kena maag akut, katanya. sebelum pulang, saya akan memberikan beberapa ribu rupiah dalam genggamannya, sebagai ucapan terimakasih karena sudah merawat kuburan simbah simak dan simbah kakek saya. Dan jawabannya dari tahun ketahun tak pernah berubah,

“rasah nduk. Wis, ben wae, sing mbales sing kuoso. “

Tapi tetap saja ia menerima uangnya.

3 tahun ini saya makin membeci ritual mudik. Mungkin lebih ke iri karena saya sendiri tidak penah mudik lagi, sebetulnya. Semua orang akan sibuk bersayang-sayangan dengan keluarganya sementara saya sendiri tidak. Bapak dan ibu saya pergi ketika saya masih berusia satu minggu. Kecelakaan, katanya. Nenek dan kakek saya sudah meninggal. Pakdhe saya bersama keluarganya, dan saya tidak pernah kenal dengan keluarga bapak saya. Sementara lebaran adalah hari keluarga, saudara dan kerabat. Dan untuk orang tanpa keluarga seperti saya, lebaran jelas tidak jauh beda dengan hari-hari biasa. Hanya saja, hari ini menjadi lebih sepi.

Saya pikir, saya tidak akan pernah menemukan teman yang sama sepinya dengan saya saat lebaran.

Sampai saya bertemu dengannya. Kami sama-sama tidak punya orang tua. Ia tidak yatim piatu seperti saya. Ayah ibunya masih ada. Mereka bercerai dan sudah punya keluarga sendiri. ia merasa canggung bila berada diantara keluarga ayah atau ibunya. Makanya ia memilih tidak mudik ke salah satu orang tuanya.

Kemarin saya bertanya padanya apakah ia kehilangan figure ayah dan ibu.

“nggak, lah, bagaimana mungkin kita kehilangan Sesuatu padahal kita tak pernah memilikinya.”

Jawabnya.

“ kok bisa gak memiliki?. Orang tuamu kan masih ada.”

“mereka bercerai sejak aku masih bayi. Sejak itu, aku diasuh nenek dan kakek dari pihak ayah. Memiliki orang tua, tapi tak pernah ada rasanya sama saja dengan tidak memiliki orang tua.”

Tiba-tiba saya senang. Tidak pantas memang. Tapi saya senang karena punya teman yang senasib. Mungkin memang orang-orang yang memiliki kesamaan cenderung lebih cocok untuk berteman.

“tapi tak apa. Kalo jalan hidup kita terlalu lurus, kita tidak akan sekuat sekarang,” katanya lagi.

“jadi, kalo kamu gak mudik, apa kegiatanmu saat malam takbiran?” Tanya saya.

“gak ada. Tapi biasanya aku selalu pesta seorang diri.”

“mau kutemani?”

“wah, mau sekali, oke. Jadi kita ketemu pas malam takbiran, ya. Aku yang bawa camilan, ato kamu yang bawa?” tanyanya.

“kita bawa sendiri-sendiri, oke?”

Duhhh, senang sekali. Akhirnya lebaran ke 4 tanpa mudik ini saya punya kegiatan yang menggembirakan. Dengan orang yang mempunyai kisah hidup mirip dengan saya. Punya hobi yang sama dengan saya, dan punya selera yang sama dengan saya. Saya pernah membaca bahwa orang yang memiliki kesamaan cenderung berjodoh. Oh, tapi saya ragu saya membacanya, atau mengarangnya saja.:D

Akhirnya malam takbiran ini datang juga. Saya sudah duduk berjam-jam denganya. Membicarakan segala hal. Cuaca, negeri ini, hobi, kucing, makanan dan lain hal. Suara takbir kemenangan dari masjid sudah diganti dengan suara takbiran dari kaset, karena orang mulai sibuk membagi-bagi zakat ke dalam plastik-plastik.

Saya menuang air kuning berbusa ke dalam gelas dan menenggaknya.

“sudah mabuk, ya, mir?” tanyanya.

“ah, enggak, kamu yang mabuk, kali.”

“haha. Aku gak bakal mabuk, lah. Aku ahlinya. Ini sudah hampir habis sebotol”

Aku meminum minumanku lagi. Pandangan mataku pada monitor mulai kabur dan jari-jariku mulai tidak terkontrol menari nari ke atas keyboard dengan liar.

“addfkahgkuuuuu nngggggaakkkkk maaaaaaaabuuuuuuuuuuukkk,” ketikku di jendela chatting.

“senang mengisi malam takbiran denganmu, mir”

“iiiiiiiyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyaaaaaaaaaa. Sammmmmmmmmmmmmmmmmaaaaaa-sasssmmmmaaa”

“selamat lebaran, mir, besok chatting lagi, ya. “

Dan saya, sudah terlampau mabuk untuk menjawabnya…..





*nah, gak nyambung, kan???? Sape suruh baca ampe sini. Bwek!

2 komentar:

  1. ceritanya kok meh sama to nduk,
    pada akhirnya seseorang akan tidak punya tempat mudik juga
    kecuali mudik penghabisan yang harus dipersiapkan
    yang kapan waktunya, kita tak akan pernah tahu

    BalasHapus
  2. iya, pak. kita gak pernah tahu kapan mudik kita yang terakhir itu....

    BalasHapus

monggo......