Juni 16, 2010

cerpen: melepaskan

Perempuan itu melingkarkan tangannya ke pingganggku. Kepalanya di atas lengan kananku. Nafasnya naik turun teratur terhembus mengenai dadaku. Dalam tidurnya ia tersenyum. Kami baru saja melepas rindu setelah sebulan lebih aku meninggalkannya untuk bekerja di Jakarta.
Perempuan itu istriku. 4 tahun yang lalu aku menikahinya dengan mas kawin seperangkat alat sholat yang masih ia pakai hingga kini. Sehari 5 kali belum termasuk aneka sholat sunnah yang lain. Katanya setiap kali ia memakai mukena itu, ia selalu merasa nyaman dan bersukur sekali bersuamikan aku. Katanya kalo ia memakai mukena itu,artinya ia setia kepadaku. aku selalu tersanjung dengan semua ucapannya. Ia tunduk pada aturan agamanya untuk selalu membahagiakan suaminya. Menuruti semua perintahnya.
4 tahun naik turunnya kehidupan ekonomi keluarga kami, tak pernah sekalipun ia menuntut apapun. Pakaiannya sederhana. Bedaknya tetap ia beli dari pasar. Bedak murahan. Tapi tetap tampak serasi di wajahnya yang ayu. Tak pernah ia tertarik untuk membelinya dari salon. Bahkan kesalon untuk potong rambutpun tak pernah dilakukan. Ia memanjangkan rambut tebalnya yang halus. Menutupinya dengan jilbab lebar. Tak pernah sekalipun ia memperlihatkan rambutnya pada lelaki lain selain aku dan keluarganya. Katanya rambutnya adalah aurat sekaligus mahkota. Katanya hanya orang istimewa seperti ku yang boleh menikmatinya. Sungguh aku benar2 tersanjung…
Aku menyentuh pipinya, menyibakan sebagian anak rambut yang menutupi wajahnya. Ia tampak semakin ayu saat tidur. Hidungnya mancung dan wajahnya selalu tampak tersenyum.
Tiba2 aku jadi ingat perempuan lain di Jakarta sana. Tidak terlalu cantik, namun memiliki tawa renyah yang mampu melumerkan hati. Ia tidak menyembunyikan rambutnya di balik jilbab, bahkan memotong rambutnya cepak. Ia bukan perempuan lugu yang shalih. Ia perempuan kota yang aktif dan efektif. bertolak belakang dengan istriku. perempuan2 kota sama sekali bukan tipeku. Tapi perempuan satu itu benar2 membiusku. Cara berfikir dan pandangannya mengenai kehidupan benar2 menawanku.
Dua bulan yang lalu ia juga melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku ingat ia memakai kemeja kuning muda dan celana panjang krem ketat. Rambut cepaknya baru saja di cat warna merah kecoklatan. Aku juga ingat ia berjinjit saat mencium pipi kananku. Katanya semuanya harus berkahir, kami harus saling melepaskan. Katanya beberapa hal tidak bisa kumiliki sekaligus.
Itu terakhir kalinya aku berjumpa dengannya. Di stasiun kereta. Hari saat aku mengantarkan istriku yang berkunjung kejakarta kembali ke kampung. Dan ia, perempuan baik berambut cepak itu memaksaku mengenalkannya pada istriku. Pura-pura bahwa ia adalah kolegaku. Entah apa yang ada dalam pikirannya setelah itu. Tiba2 saja ia menghilang dan tidak bisa dihubungi lewat apapun. Ia bahkan tak pernah ada di kantornya tiap aku kesana. Di apartemennya pun tak ada.
Tiba-tiba aku rindu sekali padanya. Jauh lebih rindu dari rinduku pada istriku sendiri. Gusti, kenapa aku harus bertemu dengannya justru pada saat aku sudah terikat dengan perempuan shalih dan penyabar ini….
Aku memijit bel pintu apartemennya. Percuma menggunakan kunci duplikat. Ia sudah mengganti kuncinya sejak sebulan yang lalu. Aku harap ia ada. Aku baru saja tiba di Jakarta dengan kereta dan langsung kesini. Bahkan nasi dan ayam goreng buatan istriku belum sempat kumakan. Masih tersimpan di wadahnya dalam tasku.
ia nampak terkejut saat menemukan ku dibalik pintu apartemennya. Aku tau ia belum tidur. Ia masih mengenakan baju kantor. Bau alkohol menguar dari mulutnya. Bercampur dengan bau asap rokok.
“elsa, aku rindu sekali padamu” kataku.
Ia menatapku dengan tatapan kosong. Entah kenapa firasatku mengatakan bahwa ia juga rindu padaku.
“ aku lebih rindu lagi.” Katanya datar. “tapi bukankah sudah kubilang bahwa tidak semua hal bisa kita miliki?.“ katanya lagi.
“elsa, aku sudah bilang pada istriku. Dia mau kok dipoligami. Aku cinta kamu, elsa.”
Ia tersenyum. Menatapku, tapi pandangannya kosong.
“aku lebih cinta lagi, tapi kamu tau?, cinta itu bukan membelenggu. Cinta seharusny a membebaskan. Jadi tolong, bebaskan aku. Seperti aku membebaskanmu. Tidak semua hubungan cinta harus berakhir dengan pernikahan.pulanglah. kembali pada istrimu. Aku tidak tega mencuri cintanya. Sedikit sekalipun.”
Kemudian ia menutup pintu apartemennya perlahan. Membiarkan aku menunduk menahan air mata. Cinta itu membebaskan. Bukan membelenggu. Mungkin benar apa katanya….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo......