Juli 17, 2008

Saya terlibat

Saya terlibat.


Iya, betul, saya terlibat,

Dalam ritme pagi di kompleks kos-kosan saya. Bergabung dengan Ibu soto, ibu angkringan, Ibu kupat tahu, Ibu tahu sumedang, Simbah yang punya warung, mbak yang yang kerja di amplas, Ibu yang kerja di Pabrik keripik belut, dan Bapak Bakpao.


Yah, bangun pagi dan berperang dengan rasa kantuk sama sekali bukan keahlian saya. Biasanya saya bangun pagi-pagi, melawan rasa kantuk dan dingin, menunaikan kewajiban, dan tidur lagi, sampai jam 7, setelah itu bangun, mandi kecibang-kecibung, pakai baju, beli bubur gudeg telur, dan brangkat kerja.. Saya tidak pernah melihat Ibu dan Bapak soto sebelah kamar saya berangkat ke jalan raya untuk jualan soto yang paling lezat itu. Biasanya saya hanya ketemu Bapak MLM yang suka menawari obat pelangsing, sedang gosok gigi dengan riang gembira, sambil sesumbar bahwa MLM lah yang membuat dia hidup tenang tanpa terburu-buru pergi ke kantor. Hmmm, mungkin dia mengikuti seminar MLM tiap malam.


Biasanya saya selalu kalah bila berperang melawan rasa kantuk. Entah memakai strategi apa si kantuk itu hingga selalu bisa membuat saya bertekuk lutut, dan menyerah. Dan bangun pagi, mandi, dan cuci piring, jelas bukan kebiasaan baik yang saya miliki. Biasanya saya menunggu samapai piring saya habis, gelas saya habis, sendok saya habis, baru cuci piring, atau menunggu pakaian saya habis, baru berangkat mencuci.


Tapi semuanya berubah.


Sekarang saya harus bangun, dan memenangkan pertandingan saya dengan rasa kantuk. Ya, saya harus menang. Saya meninjunya keras-keras, memasukkan sinar matahari pagi untuk membunuhnya, dan menggulung kasur supaya dia tidak datang lagi. Atau menyiramnya dengan kopi pahit biar dia kabur. Semuanya bermula sejak adik saya nomor 4 datang, dan tinggal bersama saya. Dia membuat piring saya cepat habis, sehingga saya harus cuci piring tiap hari. Dia butuh sarapan, hingga saya harus cepat-cepat mengantri gudeg di pasar talok, dan saya harus cepat-cepat membereskan kamar, karena kamar kami yang seumprit itu makin sesak dengan 2 penghuni bila berantakan. Dia butuh sekolah jam setengah tujuh, hingga saya harus memanaskan motor lebih pagi karena harus mengantarnya.

Tapi saya senang, karena setiap hari saya menang melawan rasa kantuk, mendorongnya keras-keras hingga dia tidak berani menghinggapi mata saya.

Dan saya sungguh senang-senang-senang sekali, karena saya jadi terlibat dalam ritme pagi yang harus dikejar cepat-cepat oleh tetangga-tetangga saya yang baik hati semua itu. Saya senang bisa ikut serta di sumur umum kami, bercanda sambil cuci piring dan mencuci baju, kemudian antri kamar mandi. Saya senang bisa mengantarkan anak tetangga ke sekolah sekalian dengan adik saya. Saya senang bisa ikut serta memanaskan motor rame-rame, dan memenangkan pertandingan itu karena suara motor saya paling keras.

Saya senang, bisa mengikuti pagi yang cepat berlalu itu. Saya senang tinggal di kos-kosan orang-orang kecil yang rajin bersyukur, pedagang-pedagang yang selalu baik hati, yang slalu menyapa saya dengan senyum mereka yang ramah, yang tercetak cantik dari wajah kehitaman mereka yang tanpa make up, yang kadang menawari saya dagangannya, yang peduli sekali dengan saya, karena bila hari minggu saya kerja, mereka selalu menyesalknnya. Saya senang, dan meski kadang saya tetap tidak suka berangkat kerja, saya selalu mendapat energi posotf dari ritme pagi yang mereka jalani. Saya menyukainya, dan saya tidak iri lagi dengan teman-teman yang kos di tempat kos yang mahal. Saya menyukainya, dan saya bersukur karenanya.


Dan Gusti, mohon beri kami rejeki yang melimpah, agar tahun depan kami masih bisa memperpanjang kos-kosan kami yang kecil ini, agar saya tidak berpisah dengan Bapak2 dan Ibu2 yang baik hati itu……..

3 komentar:

  1. Amiiiiinnnn.

    Baca ini, jadi pengen rajin bangun pagi juga. Satu kebiasaan yang teramat susah dilakuin. Huhuhuhu...

    BalasHapus
  2. saya doaken.......

    BalasHapus

monggo......