Februari 13, 2008

kok bisa,

Jadi gini, sore tadi saya ikut tur keliling pada sebuah hotel berbintang di jogja. Cuma keliling biasa aja, liat2 promosi mereka, terus dilanjutin dinner. Saya melihat2 kamar2 mereka. dari yang standar, eksklusive sampe suite. Saya sampe berhayal betapa nikmatnya kalo bisa tidur disana. tapi kelas standar aja harganya 600 ribu lebih perbulan. Gaji saya satu bulan aja enggak cukup untuk bayar kamar semahal itu. Belum lagi yang suite, kamu harus ngeluarin 5 juta per malam untuk tidur disana. Katanya sih, menteri dan anggota DPR aja yang pernah kesana. Saya heran, kok bisa mereka menghabiskan uang segitu banyak (mungkin bukan uangnya sendiri, ya...) hanya untuk tidur semalam. Padahal, disebelah selatan mereka, di Pasar disamping hotel itu, ada seorang embok2 yang setiap malam masih terkantuk2 menunggui dagangan mereka. Padahal di gang di samping pasar itu, ada embok2 penjual lotek, yang anaknya tuna wicara, ada pemulung, ada pengemis, ada simbah renta penjual kembang. kayaknya gila aja, bersenang2 sementara yang lain kesusahan.
haha, kadang2 saya memang terlalu sosialis.
Saya jadi inget kata seseorang, bahwa mungkin saya hanya belum pernah ke Jakarta saja, katanya disana kaya dan miskin tidak berbatas. Memang benar, itulah sebabnya saya benci Jakarta, mbak. Disini saja saya masih suka misuh2 sama orang kaya, masih ingin selalu menggoreskan beling ke cat mobil orang kaya, masih memungut sampah dari orang naik mobil, dan melemparkan kembali ke dalam mobil itu lewat kacanya, masih ingin menyiramkan lumpur ke baju bagus orang2 kaya, dan masih suka menyuwili gelombang cinta milik tante saya, kalo saya tinggal di jakarta, pasti saya akan lelah sendiri, karena pasti akan ada banyak sekali orang kaya yang perlu saya musuhi. haha, memang untuk sementara saya belum bertemu orang kaya yang tidak membuat saya sinis. Saya cenderung kriminal, ya?
back to the topik. Jadi, pas akhir sesi, setelah jalan2 melewati ruangan2 bagus yang berhawa sejuk, dingin dan syahdu, saya bertanya pada si embak pemandu. Kok kita enggak ke ruang laundry, enggak ke dapur, enggak ke ruang mesin?. Si mbak2 cantik nan elegan, dengan senyum artifisialnya berkata, enggak mbak, disitu panas. Trus, saya bilang, justru karena panas itu, mbak, supaya kita jadi tahu, bahwa dibalik tempat2 yang indah dan sejuk ini, ada orang2 yang bekerja dengan keringat bercucuran, sementara gaji mereka untuk sekedar nginep disini aja, enggak cukup. Dan Si Embak yang ternyata The employe of the month itu, hanya tersenyum aneh dan meninggalkan saya sendiri, untuk bergabung dengan teman2 saya yang lain. Dasar antek2 kapitalis.
At least, paling enggak saya pernah beberapa menit di ruangan laundry sebuah hotel berbintang di jogja. Dan disitu memang sangat panas. mungkin karena semua mesin disana mengeluarkan hawa panas kali, ya...., dan mereka begitu sederhana, hanya berseragam kaos putih, dengan handuk diselipkan di kantong celana mereka, peluh bercucuran, dan orang selalu memandang aneh pada mereka. mungkin memang harus panas, tapi yo, mbok piye carane,
haha, iya, saya masih sinis, masih sok idealis. Iya, saya tau, idealis itu artinya berhadap2an dengan masalah. Saya belum bisa mencari celah, saya belum dewasa. Pasti aneh, ya, menjadi dewasa dalam keadaan seperti ini. pasti susah sekali bersahabat dengan kehidupan kalo kamu miskin. Pasti susah sekali bersahabat dengan orang kaya kalo kamu miskin, atau orang disekeliling kamu miskin, atau banyak orang kaya pelit disekitarmu.
haha, saya memang sinis......

2 komentar:

monggo......