Desember 06, 2007

cerpen (cerita untuk orang pendek)


Seperti lilin
Oleh: meika

Ia mencintai seperti lilin, sampai-sampai Ia mengorbankan dirinya sendiri untuk cintanya itu. Lihat, ia meleleh, mencair, hingga menjadi cairan putih yang membeku, supaya ruangan disekelilingnya terang. Dan Ia melakukannya dengan senang hati.

“Nah, pas aku sudah mau duduk di kursiku, tiba-tiba gubrak, aku terjatuh dari kursiku, dan akhirnya aku nyungsep dengan sukses di bawah meja, hehe”
Ia bercerita sambil tertawa, menampilkan gigi putihnya yang tersusun rapi. Tubuhnya ikut bergoyang seirama tawanya. Aku hanya memandangnya dengan takjub, melihatnya tertawa seperti ini memang hal yang istimewa, meskipun Ia tertawa, bercanda dan tersenyum setiap saat. Tapi sungguh, setiap tawanya menggetarkan hatiku, meruntuhkan setiap kekesalan hati, keputusasaan, kesedihan, dan kepenatan hari2ku.
Dia adalah Nay, Gadis manis yang sudah lama sekali menjadi teman sekelasku. Sejak SMP, SMA, kuliah, Ia selalu menjadi temanku. Bahkan sampai aku tidak kuliah, sampai semua teman bosan menjengukku, ia tidak pernah lelah. Ia selalu menemaniku.
“Nay, kalo kamu repot, dan setiap hari kamu terlambat di kampus, Kamu tidak perlu kesini setiap hari. Aku gak mau kamu terlambat setiap hari.” Kataku sambil memulaskan cat warna krem di pipi lukisan gadisku.
Nay melemparkan rambut panjangnya kesamping sambil tertawa.
“Santai saja, Yan, aku kan mahasiswa terpandai di kampus, Kalo Pak Dosen memberiku nilai C untuk mata kuliahnya, aku pasti tuntut dia sampai pengadilan negeri. Hahaha.”
Dan Ia tersenyum lagi.
Aku hanya mengangkat bahuku. Selain cantik, Ia memang seseorang yang teguh hati, Ia tidak suka dilarang dan di tentang-tentang.
“ Yan, lukisannya sudah jadi belum? Aku capek nih. “
“ Tunggu dulu. Aku hanya tinggal memberi warna pada rambutmu.”
Kami memang sedang melukis. Atau tepatnya, aku melukis, dan Nay yang menjadi modelnya. Kami sedang ada di halaman belakang rumahku, melukis sambil menanti matahari tenggelam. Kami sering sekali menghabiskan hari-hari berdua seperti ini. Kadang Nay menemaniku melukis, kadang aku yang menemani Nay belajar.
Hari ini Nay mengenakan Blus tanpa lengan berwarna biru muda dan Rok panjang warna biru tua. Ia memang sangat menyukai warna biru. Katanya warna biru selalu mengingatkannya pada benda yang besar, seperti laut dan langit. Katanya ia ingin memiliki hati yang seluas langit dan lautan. Luas, dan tanpa batas. Sehingga Ia selalu mempunyai maaf tanpa batas. Sabar tanpa batas, dan kerelaan hati yang tanpa batas pula. Begitulah filosofi biru menurutnya. Kadang aku belajar banyak padanya.
Aku memutar kursi rodaku, meletakkan paletku pada meja kecil di sampingku.
“Nay, dah selesai tuh “ Kataku padanya.
Mata Nay berbinar dan Ia segera menghampiri kanvas tempat melukisku, yang sekarang sudah tampak sesosok gambar gadis manis disana. Ya, gambar itu memang menggambarkan sosok Nay, Gadis dengan senyum jenaka, kulit sawo matang, rambut panjang lurus yang tertiup angin, serta tatapan mata yang bersemangat dan penuh energi.
“Wah, bagus banget. Masak sih, Yan, aku secantik ini? Perasaan aku lebih cantik, deh.” Katanya bercanda.
“Sudahlah, jangan narsis. Itu saja sudah aku lebih-lebihkan. Aslinya kamu enggak secantik itu. “ jawabku sambil mengelap tanganku yang sudah kucuci, pada lap bersih yang dibawa nay dari dapur rumahku.
“ Wah, kamu tuh, jangan bohong dong. “ Kata Nay sambil mendorong Kursi rodaku.
Ya, kursi roda, Sudah 3 tahun ini aku berteman dengannya. Sejak kecelakaan di batas kota. Tadinya aku memang membencinya, tapi lama-lama aku menjadi sahabat kursi roda ini. Bahkan aku bersukur ada orang yang menemukan kursi roda ini. Jika tidak, bagaimana caraku mengenal dunia setelah aku kehilangan sebelah kakiku?
Aku masih ingat hari itu. Hari saat masih ada Alisa di sampingku. Saat aku masih jadi anak baru di kampus. Anak baru yang populer. Bahkan bisa dibilang pangeran kampus. Hari itu aku hendak mengantar Alisa pergi ke sebuah butik baru yang ada di luar kota. Alisa memang menobatkan dirinya sebagai trensetter. Ia harus jadi yang pertama. Dia harus memiliki baju model ini yang pertama. Atau sepatu ini yang pertama. Atau tas ini yang pertama. Kadang ia menyebalkan. Tapi sebagai gadis paling cantik di kampus, Dia memang pantas diperebutkan. Dan tentunya, akan sangat terhormat bila bisa memilikinya. Begitu juga denganku
Tapi mungkin memilikinya tidak membuatku beruntung. Hari itu kami begitu tergesa. Alisa tidak ingin terlambat sampai di butik itu. Hingga akupun ngebut. Akhirnya mobil yang kukendarai dengan alisa menabrak pohon besar di pinggir jalan. Aku hendak menghindari sebuah truk, tetapi malah kami sendiri yang tergelincir. Kami selamat. Alisa tidak kekurangan suatu apa. Tapi kakiku luka dan harus diamputasi. Dua-duanya.
Saat itu sepertinya hidupku sudah berakhir. Karirku sebagai pangeran kampus lenyap sudah. Alisa sudah bukan miliku lagi. Ia tidak mau jadi pacar cowok cacat sepertiku. Teman-teman meninggalkanku. Mulanya memang mereka semua rajin menjengukku. Tapi siapa yang tahan Berbincang dengan orang yang tak punya masa depan sepertiku?
Hingga hanya Nay yang tersisa. Ia yang matanya selalu sembab setiap kali aku marah pada semua takdirku. Ia yang selalu menangis kala aku kesakitan. Ia membantuku naik ke kusi roda. Menurukanku dari kursi roda. Mengajakku kemana-mana. Sehingga aku tidak seperti orang cacat lagi. Ia memperlakukanku seperti manusia normal. Ia memarahiku kala aku salah. Mencandaiku kala aku sedih, dan melakukan apapun yang kiranya aku tidak bisa lakukan sendiri. Dan yang pasti ia menemaniku. Tidak meninggalkanku kala semua orang enggan berteman denganku.
“Nay, habis lulus kamu mau kemana?” tanyaku pada Nay, Ia mendorongku keluar dari halaman belakang.
Ia tidak menjawab. Ia berjalan mendahuluiku untuk membuka pintu pagar. Dan kembali mendorong kursi rodaku. Langkanya riang.
“ Aku nggak akan pergi-pergi. Aku mau menemani Yan saja. Nanti biar aku mengajar di kampus kita. Biar aku gak jauh-jauh dari Yan.” Jawabnya
“Nay, kamu enggak bisa begitu. Kamu gadis cerdas. Pergilah ke jakarta, atau ke luar negeri, kamu harus berkembang. Tidak hanya terus2an di kota kecil ini.”
“Yan…” Ia berhenti. Memetik sebuah bunga yang tumbuh di trotoar
“ Apa sih yang kita cari dari kehidupan ini?” Tanyanya
Aku menggeleng.
“Kalo aku, Yan, aku hanya ingin hidup bahagia saja. Dan aku paling merasa bahagia bila aku bisa membantu orang lain.”
Aku jadi terdiam. Ingat akan celoteh2nya, cerita-ceritanya, dan semangat hidupnya yang Ia tularkan padaku. Nay tidak pernah marah bila aku tidak menghabiskan buburku. Ia hanya akan bercerita, bahwa ketika kecil dulu, Ayam-ayamnya sering mati kalo ia tidak menghabiskan makannya. Dan akupun tertawa, kemudian nafsu makan datang lagi.
Dulu pada saat aku hancur. Nay mendatangi Alisa. Memintanya datang menjengukku. Tapi Alisa menolak. Ia hanya menelponku. Mengatakan bahwa aku tak perlu lagi menyuruh Nay untuk memintanya datang. Karena pacar barunya pasti akan marah. Waktu itu aku marah sekali pada Nay. Aku malu sekali. Aku tak mau mengajak Nay bicara. Tapi Nay terus datang. Berkali-kali minta maaf dan Ia berkata, bahwa ia tidak ingin melihatku bersedih. Ia benci melihat airmataku.
“Nay, kalo kamu terus terusan membantuku, kapan kamu akan membantu dirimu sendiri? Kapan kamu punya pacar, menikah dan punya anak? Yang ada juga cowok2 akan memandangmu aneh, karena kamu sering pergi dengan orang tanpa kaki.” Aku berkata padanya. Sambil memandang orang-orang normal yang berjalan dengan orang normal juga.
Nay mendorong kursi rodaku melewati deretan bunga-bunga mawar.
“Aku enggak Harus pacaran, menikah dan punya anak. Gak ada yang mengharuskan aku begitu. Aku senang begini. Aku hanya melakukan hal yang ingin kau lakukan. Bukan yang orang kebanyakan lakukan. Mungkin, aku akan menikah, tapi jika Yan sudah menikah.”
Nay memang seperti itu. Saat aku benci sekali dengan keadaanku yang seperti ini, nay malah berkata bahwa aku seharusnya bersukur. Aku disuruh melihatnya berjalan bolak balik sampai ia kecapean. Setelah itu ia mendorongku bolak balik dengan rute yang sama seperti yang ia tempuh. Aku menyuruhnya berhenti karean nafasnya sudah ngosngosan. Setalah itu Ia bertanya, apakah aku capek. Tentu saja kujawab tidak. Aku kan hanya duduk di kursi. Lalu ia berkata, bahwa itulah enaknya orang yang naik kursi roda. Tidak pernah capek. Tentu saja aku tertawa mendengarnya.
“Tapi bagaimana jika aku enggak nikah, Nay? Apa kamu juga enggak akan nikah?” Tanyaku.
Nay berhenti berjalan. Ia memutari kursi rodaku. Kini Ia ada dihadapanku. Ia membungkuk dihadapnku.
“Tidak. Aku enggak akan menikah. Kecuali….” Dan Bola matanya berputar
“Kecuali apa?” Tanyaku
“Kecuali Yan mau menikah denganku”
Kami memang tidak pernah berkomitmen. Sejak kami jadi teman sekelas, sampai saat ini. Nay tidak pernah mengatakan apapun padaku. Dia hanya memberiku perhatian, kasih sayang dan ketulusan. Tapi Ia tidak pernah meminta apapun. Aku pernah berpikiran untuk menjadikannya kekasihku. Tapi waktu itu keadaanku sudah buntung. Sesayang-sayangnya aku pada Nay, aku tidak akan pernah mengikatkan dirinya pada orang cacat sepertiku. Tapi bila keadaanya begini?
“Nay, itu enggak mungkin. Kamu normal, sehat, cerdas dan terpelajar. Mau jadi apa bila kamu menikah denganku. Aku kan Cuma orang cacat. Paling yang aku bisa hanya melukis. Tidak bagus pula.”
Nay berlutut di hadapanku. Ia memegang ke dua tanganku
“Aku senang menjadi nyonya Yan, dan bagiku, Yan itu orang normal, makan nasi, bagai baju, punya hidung dan mulut. Memangnya bagi Yan, Nay ini enggak pantas jadi istri Yan? Apa semua yang Nay lakukan kurang bagi Yan? Maaf, Yan, hanya itu yang bisa Nay lakukan. Nay enggak punya apa-apa. Nay hanya punya cinta. Nay juga bukan lilin, yang menyinari ruangan tanpa meminta balasan apa-apa, bahkan sampai mengorbankan tubuhnya sendiri. Nay hanya manusia. Kadang Nay juga capek, tapi Nay meminta balasan. Dan Nay cuma ingin balasan yang berupa kebahagiaan. Nay bahagia jika bersama Yan.”
Ia menatapku, mata tajam itu tampak berkaca-kaca. Bagiku ia adalah lilin. Mungkin lilin yang berwarna biru. Ia mengorbankan dirinya sendiri. Seharusnya ia bahagia, hidup dengan manusia normal lainnya. Punya karier dan kehidupan yang bagus. Dan bayangan itu dimataku adalah bukan aku disampingnya. Tapi jika ia telah memasrahkan kebahagiaanya padaku?
Genggaman tangan Nay semakin erat. Dan aku membalas genggaman itu dengan lebih erat…..

Catatan: Waktu akan membuat cerpen ini, ide saya adalah gambar lilin di blognya ratih, tapi pas cerpennya selesai, dan saya membacanya 2 kali, Saya jadi inget cerita yang dituturkan asma nadia, yang berjudul cinta lelaki biasa. Mirip ya? Tapi saya g nyontek, pas bikin kepikiran pun tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo......