Oktober 22, 2009

marah

Karena marah seperti menancapkan paku di tembok, yang akan selalu membekas bagaimanapun kau mencoba mencabutnya, maka sebisa mungkin saya berusaha menahan amarah saya. Dan sialnya, menahan amarah rasanya seperti naik bis bagi saya. Kepala saya pusing,dada sesak, perut seperti diaduk-aduk, lidah pahit, bahu bergetar dan saya pasti muntah.

Dan sekarang, disinilah saya, duduk menghadapi es-entah-apa-namanya-itu, mencoba mendinginkan otak, lapar (karena sarapan pagi tadi saya muntahkan semua), mata panas dan mencoba mengendalikan hasrat untuk membunuh seseorang *ya,ya, ini terlalu hiperbolis=)*.

Saya tidak tau kenapa saya bisa menjadi begitu pemarah. Bahkan beberapa teman ketika saya tanya apa kesan pertama mereka ketika melihat saya, sebagian besar mengatakan hal yang sama: pemarah. Dan saya akan menyangkalnya habis-habisan. Saya bukan pemarah, hanya bersumbu pendek, lebih pendek dari sumbu mereka.

Padahal segala hal yang terjadi diluar kendali kita hanya 10% saja, 90% lainnya adalah sikap yang bisa kita kendalikan untuk membuat hari kita tetap baik-baik saja. Dan saya sedang mencoba fokus pada 90% itu. Meski rasanya seperti naik bis, bahkan kadang rasanya seperti menahan nafas beberapa puluh detik di dalam air,hingga paru-parumu seolah hendak meledak, saya akan memilih untuk menahan amarah, paling tidak, dg bgtu,saya tidak akan melukai tembok siapapun.oh,saya lupa saya sudah janji untuk tidak membentak siapapun.
Dan aduhh, konyol skali saya berkeluh-kesah seperti abg 16 tahun yang sedang jerawatan. Seharusnya saya lebih dewasa dari ini. Tapi saya akan mencobanya. Pasti.

Oktober 16, 2009

Sesaat lagi

Sesaat lagi kau akan mengetahui perbedaan yang halus antara bergandengan tangan dan merantai jiwa,
Dan kau akan mengetahui bahwa cinta bukan berarti sandaran, dan teman bukan berarti rasa aman,
Dan kau akan mulai mengetahui bahwa ciuman bukanlah kontrak dan hadiah bukanlah janji,
Dan kau akan mulai menerima kekalahan dengan kepala tegak, dan mata terbuka, dengan kebesaran Hati seorang dewasa, bukan dengan kemurungan anak-anak,
Dan kau akan belajar membangun semua jalanmu hari ini karena esok terlalu tak pasti untuk rencana.
Sesaat lagi kau akan mengetahui bahwa sinar matahari bisa membakar kalau kau menerimanya terlalu banyak.
Karena itu tanamilah kebunmu sendiri dan hiasilah jiwamu sendiri, daripada menunggu seseorang untuk memberimu bunga.
Dan kau akan tahu bahwa kau sungguh-sungguh dapat memikul beban……
Bahwa kau benar-benar kuat,
Dan kau benar-benar berharga,

Author unknown,
Taken from chicken soup for the soul

Oktober 02, 2009

Hujan dan Jenny

Jenny menyeruput teh hangat dari cangkirnya. Jam 04.30. Dan Ia masih ada di Lobby kantor. Beberapa menit yang lalu, Pak Slamet, OB sekaligus panjaga kantor membawakan teh hangat untuknya. Kantor tempatnya bekerja sudah sepi sejak jam 3 tadi. Hanya ada dirinya, Pak Slamet, dan Pak Satpam di Posnya.

Ia menyesal nekat menyelesaikan pekerjaannya hingga lewat jam kerja, dan akhirnya terjebak hujan dikantor. Sudah 2 kali Anto, suaminya, menelphon hendak menjemputnya pulang. Tapi Jenny berkeras tidak mau dijemput.

"jangan keluar rumah saat hujan!!" Katanya tegas pada suaminya.

Jenny benci hujan. Sangat benci. Segala hal akan ia lakukan untuk menghindari hujan. Menjelang musim penghujan, Jenny akan memanggil tukang untuk mengecek semua atap rumahnya. Ia tidak mau ada setetes air hujanpun masuk kerumahnya. Pada saat musim hujan, ia akan mendengarkan prakiraan cuaca baik-baik setiap pagi. Ia berangkat pagi-pagi sekali kalau diramalkan akan hujan menjelang siang. Bila pulang terjebak hujan, ia akan menunggunya sampai reda betul. Kalau terpaksa sekali ia harus pergi pada saat hujan, ia akan meminta suaminya untuk berkendaraan sepelan mungkin. Hingga suaminya merasa merayap. Bukan bermobil.

Jenny benci langit yang menghitam karena hujan. Ia juga benci gemuruh suara air hujan. Bila suara hujan terdengar, Jenny cepat-cepat menyumpalkan earphone ketelinganya. Ketika ada berita tentang banjir dan hujan deras, ia akan menggumam, "hujan jahat. benar-benar jahat". Meski sering diolok-olok karena menjadi orang yang paling sibuk saat musim penghujan, Jenny tidak peduli.

Hujan selalu mengingatkannya pada Kiran, sahabatnya, bertahun-tahun yang lalu, saat dunia putih abu-abu masih lekat dilaluinya.

Waktu itu hujan lebih deras dari hari ini. Petir beberapa kali terdengar. Jenny menyeret-nyeret Kiran, sahabatnya, menyusuri koridor-koridor kelas menuju parkiran. Ia harus pergi saat itu juga. Padahal anak-anak lain lebih suka menunggu dikoridor sambil duduk-duduk menunggu hujan reda. Terlalu deras untuk pulang saat itu.

"Jenny, tunggulah sampai hujan reda. Ini terlalu deras. Acarnya pasti molor." Kiran mengingatkan Jenny.

Tapi jenny berkeras.

"Ga mungkin, Kiran, penulis sekaligus artis sepopuler dia jadwalnya padat. Ga mungkin molor. Ayolah Kiran, kapan lagi kita bisa bertemu dia?" Pintanya memelas pada Kiran.

Akhirnya, Kiran, sahabatnya yang baik hati itu menurut diseret-seret ke tempat parkir motor.

Mereka berdua segera menuju ke toko buku tempat launching buku penulis favorit Jenny. Kiran membawa motor dengan pelan. Tetesan air hujan yang menghantam kaca helmya, ditambah jalanan yang licin, membuatnya agak susah melihat.

"Lebih cepat, Kiran, acaranya hanya bersisa setengah jam lagi." Desak Jenny.

"Jalanan licin, Jen, kita tak akan terlambat, kok." Teriak kiran, berusaha mengalahkan suara hujan yang menderu-deru disekeliling mereka.

Jalanan sepi. Hanya satu dua kendaraan yang nekat lewat dalam cuaca seburuk itu. Itupun kendaraan beroda empat.

Lalu semuanya terjadi begitu cepat. Tiba-tiba jenny merasakan tubuhnya terpental. Samar-samar ia mendengar suara ban berdecit beradu dengan aspal licin. Lalu suara benturan. Dan gemuruh hujan. Rasa sakit menyerangnya. Seperti ribuan jarum yang menusuk-nusuk kulit. Kepalanya terasa begitu berat. Seperti baru saja dihantam sebuah batu besar. Susah payan Jenny berusaha bangkit dan memfokuskan pandangannya yang berkunang-kunang. Tetapi guyuran hujan membuat lukanya bertambah pedih. Ia melihat tubuh sahabatnya terbaring di aspal dengan posisi yang mengerikan. Tubuhnya menggelepar di tengah kubangan warna semerah darah. Jenny merangkak tersaruk-saruk ingin menjangkau tubuh Kiran. Air hujan yang mengalir di aspal segera menjadi merah bercampur dengan darah Kiran. Jenny ingin berteriak minta tolong. Tapi tapi suranya hanya berupa dengusan. Itupun segera hilang ditelan gemuruh air hujan. Tak satupun kendaraan lewat. Semua suara tertelan gemuruh hujan. Ia benci hujan. Hujan membawa darah Kiran kemana-mana.

Tak ada yang menyalahkannya atas kematian Kiran. Tapi Jenny tak pernah bisa lari dari rasa bersalahnya. Seandainya tidak memaksa Kiran. Seandainya tidak jadi pergi. Seandainya tidak hujan. Sejak itu ia membenci hujan. Air hujan yang mengalir di aspal dalam pandangannya selalu berwarna merah. Semerah darah Kiran waktu itu.

Jenny mengusap setitik airmata disudut mata. Jam 5.10. Hujan seudah mereda. Tapi Jenny tidak segera bersiap-siap untuk pulang. Ia akan menunggu sampai hujan benar-benar reda. Perlahan Ia meraih cangkir dan menyeruput kembali tehnya yang sudah dingin. Ia melihat pak Slamet melewatinya dan membuka pintu depan.

"Jangan dibuka, pak, Nanti airnya masuk." pintanya pada Pak slamet.
"sudah reda, kok, mbak jenny, tadi bapak lihat pelangi, tapi dari belakang tidak terlalu jelas. nah, disini lebih jelas. mari kesini, mbak Jenny, ayo melihat pelangi. cantik,lho. jaman dulu, katanya, pelangi itu jembatan para bidadari. mereka mau mandi di sungai." Ujar pak Slamet tanpa menghiraukan larangan jenny.

Tak urung Jenny penasaran juga. Ia lupa kapan terakhir kali melihat pelangi. Ia mengikuti pak Slamet menuju pintu. Dan benar saja. Jenny melihat pelangi diujung sana. Melengkung setengah lingkaran. Dengan warna-warna selaras yang menawan. Jenny takjub sekali. Cantik. Tampak sangat indah dengan latar belakang biru cerah.

Tiba-tiba jenny menyipitkan matanya. Sepertinya ia benar-benar melihat bidadari turun dari langit. oh, bukan, bukan bidadari, Itu Kiran. Jenny yakin sekali. Ia tak pernah lupa pada rambut keriting dan senyum jenakanya. Ia melambaikan tangan kearah jenny. jennny ingin sekali datang kesana dan memeluk Kiran.

"Nah, cantik, kan, mbak. ini lho, yang bapak suka dari hujan. ia meninggalkan pelangi saat pergi. Seperti kehidupan ini, mbak, ga mungkin cobaan datang terus-terusan. Pasti ada berhentinya. Kalo kita sabar, nanti ada hadiah seindah pelangi menunggu kita. ckckckc, seandainya biadadarinya benar-benar ada, ya, mbak jenny..." Ujar Pak slamet diikuti tawanya yang terkekeh-kekeh.

jenny tersenyum. Pikirannya tak lepas dari Kiran. Mungkin ia tidak akan terlalu membenci hujan lagi. Ia akan menanti hujan, dan menungguinya sampai reda dengan sabar. Lalu akan memangang ke luar ruangan dan mencari pelangi dari sudut yang paling pas. Sehingga ia bisa melihat Kiran. Turun dari langit, meniti pelangi. Jenny rindu sekali pada Kiran. Pada senyum jenakanya, pada tawanya, pada olok-olokannya, pada kebaikan hatinya.

Jenny memandang kembali kearah pelangi. Ia masih melihat Kiran disana. Mengerling kearahnya. Tiba-tiba Jenny merasa dadanya begitu hangat.

***

ihhhh, penyakit susah tidur dan guyuran hujan membuat saya jadi mellow seperti ini:D