September 26, 2009

Septi, gadis kecil yang tak pernah ada

Bagaimana mungkin kamu merasa kehilangan, padahal kamu tak pernah memilikinya.

Saat melihatnya dari video Handphone berdurasi 3 menit milik teman saya, dan saya langsung jatuh hati pada gadis kecil itu. Pipinya begitu merah, tembem cantik dengan bulu-bulu halus disekelilingnya. Matanya terpejam. Tanganya menggapai-gapai dalam sarung tangan kecil warna biru muda. Bibirnya bergerak-gerak lucu,seakan-akan tak sabar menanti susu cair yang akan disuapkan padanya dengan sendok kecil. Saya ingin sekali menggendongnya. Saya membayangkan bau minyak telon, baby oil dan bedak bayi yang beraroma khas. Saya juga ingin menyentuh kulitnya yang pasti lembut sekali. Juga pipinya yang mengundang untuk dicium habis-habisan. Aduhhh, gemas sekali saya melihatnya.

Kemudian teman saya memperlihatkan video yang lain. Masih gadis kecil yang sama. Telanjang. perutnya menggelembung seperti balon. Matanya terpejam. Kaku. Tubuhnya membiru. Teman saya bercerita bahwa gadis kecil itu akhirnya meninggal diusia yang ke 12 hari. Saya tercekat dan terdiam. Bagaimana mungkin gadis kecil selucu itu pergi begitu cepat?. Benak sayapun dipenuhi bayangan si gadis kecil, terkubur sendirian. dikerubungi belatung. membusuk.

Dia adalah Septi, gadis kecil yang tak pernah ada. Tidak pernah saya kenal. Anak teman saya yang beberapa bulan lalu menikah, dan meminta saya menjadi juru foto jadi-jadianya. Tempat tinggal yang berpindah-pindah membuat saya lost contact denganya. Sekarangpun dia entah dimana. Kawan saya yang lain yang mengabarkan berita ini pada saya. Beberapa hari yang lalu ia lewat karena hendak pulang ke tanah jawa.

Kasihan Septi, gadis kecil itu pasti tak akan pernah tau sandiwara apa yang dimainkan ayah dan ibunya. Ia juga tak tahu, bagaimana mungkin orang-orang yang seharusnya melindunginya tega melakukan hal-hal jahat padanya. Bahkan sebelum ia dilahirkan. Ia tak tahu. Orang yang merawatnya hanya tau tiba-tiba perutnya menggelembung, dan tau-tau ia sudah tak bernyawa dengan tubuh biru. Bahkan tak ada yang mau repot membawanya kerumah sakit untuk mengetahui sebab kematiannya. Toh tak ada yang berkepentingan juga kata mereka. Mendengar cerita teman saya, saya seperti mendengar suara derit kerikil yang tidak sengaja tercampur dengan kapur saat dipakai untuk menulis di papan. miris.

Saya tidak mengenalnya. Saya menyesal sekali ia hanya berusia 12 hari. Seharusnya ia tumbuh besar dan menjadi gadis kecil berbaju renda-renda yang lucu. Meski saya tahu Tuhan selalu mempunyai jawaban atas semua pertanyaan, hati kecil saya masih menyalahkan ayah ibunya. Saya tidak pernah tau apa penyebab kematiannya, teman saya pun tak tau. saya hanya teringat cairan-cairan pekat yang diminum ibunya. Tapi entahlah

Sampai sekarang saya tidak bisa melepaskan pikiran saya dari gadis kecil itu. Gadis kecil yang tak pernah ada. kecil. terpejam. kaku. perut sebesar balon. tubuh membiru. Hanya wajahnya terlihat begitu damai. Mulutnya seakan membentuk senyuman. Mungkin malaikat membisikan sebuah rahasia padanya. Bahwa disana, di surga, ada bidadari cantik baik hati yang akan merawatnya dengan penuh cinta.


Tulisan ini saya tulis tanpa ijin sebelumnya. Tidak ada yang bisa dimintai ijin.

September 18, 2009

Pelayanan yang memuaskan

Mulutmu tajam seakan kau lebih baik dari aku, lebih baik dari segalanya.
Atau kau memang sempurna.
Bre/Sempurna


Emang, ada hubungannya antara pelayanan dengan lagunnya Bre itu?. Jawabannya ada. Karena, kalo tidak mendapatkan pelayanan yang bagus dari pemberi service, biasanya mulut saya berubah menjadi tajam. hehe.

Ya.ya. Itu salah satu sifat buruk saya, yang saya ingin buang jauh-jauh. Tapi, susah sekali menghilangknnya. Saya hanya bisa menekannya kuat-kuat. Biasanya kalo mulut saya mulai gatal ingin mengkritik si pemberi service, saya akan memalingkan muka, menenangkan gemuruh-gejolak hati saya *jaaah, bahasanya*, menghitung sampai sepuluh dalam hati, pergi, dan berusaha tidak akan datang ke tempat itu, kecuali -tentu saja- terpaksa.

Beberapa hari yang lalu saya mengalaminya lagi. Jadi ceritanya, saya mau mbenerin hape saya yang jadul dan bisa bikin tetanus kalo dipegang karena banyak karatnya itu, ke sebuah tempat service ponsel besar di kota tempat saya tinggal sekarang ini. Ya, saya memang harus menebalkan lagi muka saya yang sudah cukup tebal ini, karena hape saya jelas akan menjadi satu-satunya hape dari jaman prasejarah dikota ini. Tapi semua orang punya barang kesayangan, bukan?. Saya tau saya begitu cerewet, karena itu saya menunggu suasana sepi, baru menanyakan perihal hape saya., Apakah hape yang terendam diminuman yang bisa bikin kita jadi 100 persen ini masih bisa diperbaiki?. Kalo ia rusaknya apa, berapa biaya servicenya,berapa harga sparepart yang harus diganti, garansinya, dan sebagainya, dan sebagainya. Tapi belum apa-apa, si Embak cantik-putih dan rambutnya di rebonding *ihhhh* itu menjawab pertanyaan saya dengan tidak sopan dan menjurus ke tingkat pelecehan. mungkin karena tampang saya kere, jadi ia pikir saya cuma nanya-nanya aja.

Hasilnya adalah, muka saya merah padam dan dada saya seakan mau meledak *hiperbolis banget, si, ka*. Akhirnya saya pun mengkritik si embak itu habis-habisan. menjelaskan tentang pentingnya bersikap ramah pada pelanggan dan bla-bla-bla-etc-etc. Hingga sang owner keluar, meminta maaf, menjelaskan dengan nada suara yang lebih lunak, dan memarahi si embak-rambut-rebonding itu. haha. Akhirnya saya memang tidak jadi memperbaiki ponsel saya itu. Pertama karena saya sakit hati, kedua karena ternyata memang mahal.

Beberapa kejadian tentang pelayanan yang tidak memuaskan pernah saya ceritakan disini.Kejadian yang lain lebih banyak lagi. Saya tidak tau saya yang menuntut terlalu banyak atau memang mereka yang kurang bagus memberi service.

Enggak adil, ya, kalo saya hanya menceritakn bagian jelaknya saja. Ada juga kok tempat yang memberikan service bagus. bukan perusahaan besar. Hanya sebuah tempat rental film di pojok jalan Timoho, Jogja. Tempatnya kecil. Harganya 500 rupiah lebih mahal daripada tempat lain. Tapi servicenya memuaskan menurut saya. Embak disana tidak terlalu cantik. Rambutnya juga tidak direbonding. Tidak putih pucat juga. Biasa saja. Bahkan mulutnya tidak henti-henti berasap *eh, jadi inget embak favorit saya, hey, mbak!!!!*. Dia menyapa saya dengan ramah, meminjam KTP saya dengan sopan -deselingi joke tentu saja-. Dan Ia hafal semua sipnosis film di tempat ia bekerja. Hebatnya, hanya dengan menyebutkan film favorit saya sebelumnya, ia langsung bisa memberikan rekomendasi sederet film bagus dan menceritakan semua sipnosisnya tanpa menjelaskan endingnya. Ajaibnya, semua film yang ia rekomendasikan cocok dengan selera saya. Dan catat, Ia langsung hafal nama saya.

Saya punya buku faavorit tentang perlayanan yang bagus. Judulnya Good Service is Good Busuness, ditulis oleh Catherine DeVrye. Penjelasannya mudah, disertai contoh kasus yang pas dan bahasanya pop. Intinya si, sama dengan yang tercantum di buku-buku pelajaran manajemen jasa jaman sekolah dulu. Beri perhatian penuh pada pelanggan, hingga ia merasa sebagai orang penting bagi kita. Buat semua penjelasan menjadi menguntungkan baginya, bukan bagi kita. Dengarkan kebutuhannya, dan beri solusi sebaik mungkin. Dan yang terpenting, berikan pelayanan lebih dari yang ia harapkan. Terus terang, saya lebih menyukai buku ini, daripada buku yang harus saya pelajari waktu sekolah dulu. Buku-buku teks jaman sekolah dulu selalu membuat saya mengantuk. Efeknya lebih dahsyat daripada dongeng sebelum tidur dicampur ctm. hehe.

Aduh, saya kok malah eneg dengan tulisan saya ini, ya. Kesannya saya sok tau dan belagu banget. Belagak jadi pakar service excellent aja. lha emangnya kamu siapa, ka, minta dilayani sebaik-baiknya. ehem. saya konsumen. dan konsumen masih raja, bukan?. -Padahal dulu, kalo ada yang bilang gitu, saya jawab, 'tapi penjual adalah kaisar'.hehe-. Anggap saja ini curcol. Dan, ayolah, kalian juga pernah bukan mendapatkan service yang tidak baik?. nggondog, kan rasanya?. yah, kadang-kadang rasa nggondog menbuat saya jadi sok tahu.=)

Eh iya, ada yang kelupaan. Ada kejadian konyol pas saya untuk pertama kalinya menggunakan jasa warnet di kota ini. Jadi warnet satu ini bersistem paket deposit. Depositkan uang anda sekian rupiah, dan anda bisa akses sekian jam lebih murah daripada paket perjam. Anda akan menerima ID dan passwordnya. Dan anda bisa mengecek sendiri berapa sisa waktu deposit anda. Nah, karena saya menyukai Gober Bebek, dan kadang mengikuti tingkahnya, saya selalu mengecek sisa waktu saya setiap selesai akses. dua tiga kali masih oke. semua sisa waktu sesuai. Tapi, pada saat kedatangan ke empat, ding-deng, sisa waktu saya tinggak 2 menit. Padahal saya yakin sekali masih punya sisa waktu 1,5 jam.

Seperti yang kalian duga, saya protes dan meminta perincian pemakaian deposit saya. Si mas-mas operator menyambungkan saya dengan ownernya, karena ia tidak punya wewenang untuk itu. Akhirnya si owner mengalah. -kebetulan ia tidak ada, jadi hanya per telephon saja-. Saya mendapat free akses 3 jam dari warnet tersebut. oke, saya terima. entah apa yang barusan dibicarakan dengan ownernya, karena pada saat memberikan kupon pada saya, si mas operator bermuka masam dan berbicara dengan nada tidak sopan cenderung melecehkan pada saya. Yak. kalian betul, muka saya kemudian merah padam, dan dada saya rasanya mau meledak *hiperbolis lagi*. Sayapun kembali bermulut tajam-seakan kulebih baik dari Dia-lebih baik dari segalanya-hehe. Dan bertelephon lagi dengan si owner, mengeluhkan mas operator padanya. Nah, ini bagian konyolnya, sang owner malah meminta saya untuk memeklumi si mas opertaor, karena ia sedang bermasalah dan keluarganya broken home. please, deh,memang apa peduli saya?. dia mau broken home, broken heart, broken wing, bahkan broken legs skalian, melayani kan pekerjaannya. Konsumen datang dengan membawa beban masalahnya sendiri,selain membawa uang. Ia meminta solusi. Jadi, pasti menyebalkan sekali kalo diminta memahami masalah si pemberi jasa, dan memakluminya. Saya langsung merekomendasikan buku itu pada si owner.

Jadi, dalam memberikan pelayanan yang excellent, prinsip yang tidak kalah penting adalah, bukan bagaimana kita tersenyum kepada pelanggan, tapi bagaimana caranya membuat pelanggan tersenyum karena kita.

Ah, sudahlah, saya malah jadi tampak lebih sok tau lagi.=)

Berjubel-jubel

Seorang teman baik pernah mengeluh pada saya, katanya sekarang waktu serasa berlari. Rasanya baru kemarin ia berpacaran, tau-tau sekarang buah hatinya sudah berusia 2 tahun. Ia merasa sekarang jarum jam berputar semakin cepat dari hari ke hari. Ah, saya tidak setuju dengannya. Bagi saya, waktu sekarang terbang. Dengan kecepatan tinggi tentu saja. Sepertinya baru kemarin tanggal 1 Ramadhan, dan wuzzzz, tiba-tiba sekarang Ramadhan sudah hampir habis.

Seperti kota-kota lain, kota kecil tempat sekarang saya tinggal menjadi semakin semarak. Cenderung bising malah. Tiba-tiba saja truk-truk besar berdatangan. Mereka parkir berderet-deret memenuhi badan jalan. Memuntahkan muatannya pada setiap gudang. Biskuit, baju-baju, minyak, telur, sirup, bumbu-bumbu, beras, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Hotel-hotel kecil mulai ramai. Orang-orang bermuka asing mulai tampak disana-sini. Mereka memakai baju-baju bagus untuk ukurannya. membawa serta anak dan istrinya, bersiap-siap pulang ke jawa. Wakil-wakil dari perusahaan besar berdatangan, dan membagi-bagikan kupon sembako murah. kembang api dan bunyi mercon turut serta menambah kemeriahan. Pasar yang tadinya jam 8 malam mulai berkemas kini memperpanjang jamnya. Sampai lepas tengah malam. Dan semua orang tampaknya takut kehabisan bahan makanan dan pakaian. Semuanya tumplek blek jadi satu. Membuat kota kecil yang tadinya tenang ini menjadi ramai siang dan malam.

Jangan tanya apa saya menyukainya. Tentu saja saya tidak pernah menyukai suasana yang bising dan penuh orang seperti ini. Saya tidak pernah habis pikir dengan mereka. Bukankah lebaran berulang setiap tahun?. Tapi kenapa kebisingan dan ke-amburadulan-nya terus berulang?. Kenapa si harus membeli apa-apa mepet waktu begini?. kenapa enggak jauh-jauh hari sebelumnya. Atau kenapa enggak pas habis lebaran?. Harganya pasti jauh lebih murah. Dan tentu saja, tidak perlu berjubel-jubel seperti ini.

Saya juga bukan pe-belanja atau teman belanja yang baik. Beberapa hari yang lalu teman saya memaksa saya untuk menemaninya belanja baju selepas maghrib. Dan belum-belum, saya sudah membuat 2 pelayan di 2 toko baju sakit hati. yah, begitulah, lagi-lagi saya tidak bisa mengerem mulut lancang saya untuk tidak mengkritik pelayanan si embak-embak itu. Iya, saya tau, bekerja berjam-jam dengan pengunjung yang membludak membuatnya lelah. lha tapi apa peduli saya, saya kan calon pembeli yang potensial -ehm, maksud saya teman saya-. Dan bagaimanapun, konsumen masih raja, kan?. Akhirnya saya melepas teman saya belanja sendiri. Saya lebih memilih minum segelas es campur di trotoar sambil ber-facebook dengan hape dekil saya.

Saya sih lebih baik tidak membeli apa-apa kecuali terpaksa daripada harus menjadi sarden hidup dipasar yang penuh manusia. Lagipula lebaran kan tidak harus merubah kita menjadi mahluk paling komsumtif didunia, kan?.

Hmmm, mungkin karena saya masih berstatus single saja, sehingga saya menjadi begitu sinis dengan orang-orang yang berjubel-jubel itu. Mungkin karena saya masih hanya memikirkan kebutuhan diri sendiri saja. Jadi saya tidak terlalu memusingkan kegiatan belanja ini-itu dan memasak ini-itu menjelang lebaran. Bagi saya, asal tempe masih diproduksi dan bisa nangkring di piring saya tiap hari aja, udah berasa lebaran setiap saat. Mungkin pikiran saya akan berbeda sama sekali ketika saya menikah dan berkeluarga kelak. Karena pada saat itu kebutuhan bukanlah kebutuhan saya sebagai pribadi tunggal saja. Tapi juga kebutuhan anggota keluarga yang lain. Kan tidak mungkin hanya karena saya benci kebisingan, saya jadi tidak membeli apa-apa untuk lebaran. Mungkin saya hanya akan mencari cara yang lebih praktis saja.

Jadi, saya tidak menyalahkan mereka yang berdempet-dempetan dipasar itu. Mungkin karena ndilalah THR diberikan mepet pas hari raya, hingga mereka harus belanja pada saat-saat ini. Mungkin mereka tidak mau malu kekurangn snack saat sanak saudara datang pas lebaran hingga mereka harus berbelanja sebanyak itu. Mungkin akan ada banyak tamu hingga mereka harus memasak aneka masakan banyak-banyak. Atau mungkin mereka menyukai sensasi belanja sambil berdesak-desakan begitu. Sekali setahun, kan?. Dan, yah, ini lebaran, jadi sudah sepantasnya dirayakan.

Hanya mungkin cara mereka kurang praktis. Dan agak terlalu berlebihan. Hingga terkesan brutal dan tidak terkendali. Sepertinya semua pelajaran dan pelatihan menahan diri sebulan ini jadi terlupakan. Mungkin tidak perlu sebanyak itu. atau seheboh itu.

Saya jadi inget kata seorang uztad -entah siapa namanya saya lupa-. Katanya Ramadhan seharusnya menjadi pesantren kilat bagi kita. Setelah lulus, dan kita kembali ke 11 bulan biasa lainnya, seharusnya, kita bisa mengamalkan apa-apa yang kita pelajari dan telah kita latih di bulan Ramadhan.

Ehm, saya kok jadi terlihat kayak-bener-bener-nya-aja. Padahal, waktu yang terbang itu benar-benar berasa terbang percuma aja. Rencana-rencana yang telah tertulis masih berupa rencana. belum di-follow-up sama skali. -eh, kok malah curhat- oke, yuk mari kita kembali ke fitri, semoga bulan-bulan berikut setelah ini, semua kesabaran, pengendalian, dan keiklasan yang kita pelajari bisa tetap kita praktekan.=D

September 13, 2009

belajar sopan


Bagaimana mungkin mengajarkan keindahan sekuntum mawar dengan sebilah pedang*

Siang yang panas dan berdebu remah-remah pasir -haha. remah pasir gitu-. Dan puasa yang tanpa sahur. Sama sekali bukan perpaduan yang harmonis, ya?. Mungkin kalo terbuat dari lilin, saya sudah habis meleleh. Saat itu saya sedang talking-talking bullshit sama teman didepan tempat kerja ketika terdengar teriakan dari arah mas-mas yang sedang nongkrong di pinggir jalan.

"Heh. buang tu rokoknya. ini bulan puasa."

Paman tukang pentol yang saat itu sedang menghisap rokok sambil memukul-mukul mangkoknya kaget.

"Itu, rokok yang kamu isep itu. Kamu ga tau apa kalo ini bulan puasa?. orang-orang lagi puasa. kamu jangan merokok seenaknya." Teriaknya lagi. Kali ini sambil berjalan mendekati gerobak pentol milik si paman. Matanya mendelik garang. Urat-urat lehernya bertonjolan.

Paman pentol pun buru-buru mencopot rokok, dan membuangnya. Diikuti grundelan-grundelan pelan. mungkin kalo keras g berani kali. hihi.

"Nah, gitu, buang. jangan ngomel-ngomel. kalo enggak, gerobak pentolmu aku tuang semua. ini bulan puasa. kamu jangan bikin gara-gara."

lha, saya pikir si Mas-mas itu yang bikin gara-gara.



hmm, begitulah fragmen siang ini. Yang mengingatkan saya pada FPI, taliban, dan lain-lain entah-apa-namanya-itu. Yang seenak-enaknya rsak sana-rusak sini hanya karena orang-orang lain enggak sepaham-sealiran dengan mereka. Seolah-olah mereka paling bener sendiri aja. Emang harus gitu,ya, cara mengingatkan orang lain yang mereka pikir sedang berbuat salah. Saya benar, jadi saya sah-sah aja maki-maki sampeyan, karena sampeyan salah.

Lucu. padahal kita hidup berdampingan denga orang-orang yang berbeda keyakinan, agama , aliran dan paham. Jadi rasanya aneh kalo kita harus maksa-maksa orang lain untuk menghormati kita yang sedang berpuasa dengan cara kasar dan enggak sopan sama sekali. Bagaimana mungkin mengajarakan kesopanan dengan cara yang tidak sopan, coba?. Kenapa kita yang harus minta dihormati?. kenapa enggak kita aja yang menghormati mereka, orang-orang yang memilih untuk tidak puasa itu. siapa tau mereka memang punya alasan yang logis. -Meskipun logis enggak logis juga tetep aja bukan urusan kita-. Lagian orang yang memilih untuk menghormati orang lain enggak akan direndahkan, kok. ,

Anyway, saya pikir, puasa enggak puasa itu urusan antata manusia dengan Tuhannya masing-masing,ya. bukan urusan manusia satu dengan manusia yang lainnya. Jadi, dia mau puasa, kek, enggak, kek, dosa juga dosa sendiri. Bukanya kalo kita marah-marah malah akan mengurangi pahala kita?. Iya kalo puasa kita kualitasnya bagus. nah kalo enggak. kita kan enggak bisa seenak-enaknya maksa orang lain untuk mengikuti apa yang kita lakukan, bukan?.

Aduh, kok saya jadi terlihat sok tahu gini, ya?. hehe. Intinya. saya sebel aja kalo liat orang puasa, langsung sok-sokan belagak paling bener sendiri dan berasa bau sorga aja -ihhh, kayak dirinya enggak aja-. Menganggap orang yang enggak puasa itu temenya setan. Dan sok-sokan ngajari sopan pada orang lain dengan cara yang enggak sopan. Saya pikir, selalu ada cara baik lain untuk mengajari sopan santun. Karena, bagaimanapun, tidak mungkin mengajarkan keindahan sekuntum mawar dengan sebilah pedang.....



*lupa darimana dapat kata-kata itu. kayaknya dari majalah Islami apa gitu. hehe.
gambar diambil dari sini

September 07, 2009

48 menit 22 detik bersamamu

"seta, sibukkah?, kalo enggak, bolehkan aku menelphonmu?" tulis saya di telphon selular. Kemudian saya mengetikkan nomor yang tidak ada di phonebook saya, karena saya sudah hafal luar kepala.

5 menit berselang.
30 menit berlalu. Ah, tak apa, toh beratus-ratus SMS yang saya kirimkan juga tidak berbalas.
1 jam terbang sudah. Ya. ya. saya kan bukan siapa-siapa.

Bip.bip.bip. "ga sibuk kok, telephon aja sekarang." Balasan darinya. Singkat. Jelas. Tanpa basa-basi. Saya girang sekali. Cepat-cepat saya mengambil selembar kertas, dan mulai menulis daftar pertanyaan.

1. Bagaimana kabarmu?
2. Apa kegiatanmu sekarang?
3. Bagaimana kuliah akta IV-mu?
4. Bagaimana usahamnu?
dan bla-bla-bla-bla. Hingga terkumpul 20 pertanyaan dikertas saya. Hanya untuk jaga-jaga, siapa tau saya jadi gagu dan tak bisa berpikir cepat. Lalu saya menekan kembali kombinasi nomor yang saya hafal luar kepala itu.
085228097XXX
1 kali tuuut
2 kali tuuut
3 kali tuuut
4 kali tuuut
Saya mulai putus asa. Mungkin sebenarnya ia tidak benar-benar berniat ingin bertelephon. oke, 1 kali lagi dan saya menyerah.

"Halo" Saya mendengar suaranya. Jernih. Bening. tenang. dalam. Masih sama seperti 2 tahun yang lalu.

"Halo?. Seta?". Saya akhirnya mampu memanggilnya. Dan saya mulai tertawa girang. oh, bukan girang. Gugup tepatnya. Hingga saya tidak sadar ketika air mata saya mulai leleh disudut mata. Saya cepat-cepat mengerjapkan mata.

"kok ketawa?". Aduh, suaranya merdu sekali. memantul-mantul digendang telinga saya. Seperti suaranya 2 tahun yang lalu. Begitu dekat. Rasanya bibirnya menempel di telinga saya.

Saya menyusut hidung dan menghapus air mata diantara tawa senang saya.

"Aduh, aku senang sekali bisa menelphonmu lagi. sampai grogi, ni"

Ia menghela nafas. Saya bisa mendengarnya dengan jelas disini. Ah, saya suka sekali memandanginnya saat menghela nafas. Jakunnya naik turun saat itu. Saya bahkan masih bisa merasakan nafasnya di leher saya.

Lalu Ia ikut tertawa. Saya suka sekali melihatnya tertawa. Kedua sudut mulutnya akan tertarik melengkung keatas. Disudut mulutnya membentuk garis tepat dibawah tulang pipi. membingkai bibirnya yang merah basah. pipinya menggembung, dan kepalanya menyipit. Wajahnya jadi tampak jenaka sekali saat itu.

"Aku malu, Seta, sudah lama sekali tidak mendengar suaramu."

Saya mendengar tawanya kembali. Biasanya saya cemberut kalo ia tidak berhenti menertawakan saya. Dan Ia akan mengacak-acak rambut ikal saya dengan tangannya yang kekar dan berotot. Atau Ia akan memeluk dan membawa kepala saya kedadanya, hingga saya bisa mendengar jantungnya berdetak cepat saat ia terpingkal-pingkal.

"seta, jangan ketawa, aku malu."

"maaf,maaf, kamu lucu, si, kenapa juga harus malu padaku?"

Saya tersenyum, walau saya yakin, Ia tidak bisa melihat senyum saya.

Lalu obrolan bergulir. Tentang pekerjaan. Kegiatan saat ini. Cuaca. Jejaring pertemanan. standar. pertanyaan-pertanyaan umum seperti saat kau bertemu sahabat lamamu.

Dan airmata saya meleleh makin banyak.

Setiap jeda dari pertanyaan diisi dengan diam. Saya tidak tau apa yang ia pikirkan. Saya hanya merasa Ia sengaja membangun jarak dengan saya. mungkin maksudnya supaya kami tidak sedekat dulu lagi.

Padahal dulu Ia adalah seorang pencerita yang baik. Kami bahkan tahan bercerita 5 jam nonstop setiap malam. Dan esok paginya kami akan terkantk-kantuk di kantor. Tapi kami tidak peduli. Setiap malam, kami akan menghabiskannya berdua, bersama bergelas-gelas minuman berbusa. dan seribu cerita tanpa henti. Lalu saat kami kelelahan, saya akan menyandarkan kepala saya didadanya, terus begitu sampai saya ketiduran.

"Seta, pertanyaan itu tadi aku susun dikertas, lho, supaya aku g kehabisan kata-kata karena gagu"

"oh iya?. Jadi, ada yang kurang, kah, wawancara kita hari ini?"

Kami tertawa bersama.

"oh, sudah habis, kok"

"kali-kali ada yang kurang".

Lalu ia menguap.

lalu diam lagi.

Saya pun memutuskan pembicaraan. Dulu, saya ingat, setiap kali hendak pulang dari apartemen saya, ia akan memeluk saya erat-erat, dan memcium kening saya lama-lama. ah, bahkan saya masih seperti mencium bau parfumnya sekarang. menguar dari lengan jaket hitamnya yang melingkari bahu saya.

48 menit 22 detik. Saya melirik timer di telpon selular saya. Itu saja sudah cukup. setelah 2 tahun tak pernah bertemu muka. Saya menyimpan kertas-kertas saya. Ya. Ya. Saya berbohong padanya. Ada satu pertanyaan yang belum saya beri tanda centang di kertas ini. Pertanyaan nomor 17. Apakah kamu sudah jatuh cinta lagi?.

Saya takut menanyakannya. Saya takut kalo jawabannya ya.


p.s : hey, you, ini memang agak dibesar-besarkan. dan, ayolah, jangan cuma jadi secret-reader saja. beri saya kritik. hehe.

Finally, I Called Him Bapak

Mungkin karena sejak pertama kali diperkenalkan dengannya, saya memanggilnya Oom, saya jadi kebiasaan memanggilnya begitu. Bahkan setelah Ia menjadi Suami Ibu saya bertahun-tahun yang lalu. Kami, -saya, kakak saya dan adik saya- tetap memanggilnya begitu. Berkali-kali Ia meminta kami memanggilnya Bapak, atau Papah seperti 3 saudara kami yang lain. Ia menyelipkan keinginannya itu setiap kali ada kesempatan, Bahkan Ia menyebut dirinya sendiri Bapak sebagai kata ganti orang pertama tunggal ketika berbicara pada kami. Kami sudah pernah mencobanya, tapi tiap kali memanggilnya Bapak, maka kami tak akan mampu menahan gelak tawa kami. Aneh sekali memanggilnya dengan sebutan itu. Tidak ada maksud apa-apa. Hanya canggung saja. Dan rambutnya yang senantiasa panjang membuatnya makin aneh ketika dipanggil Bapak. Lagipula kami merasa Ia lebih keren bila dipanggil Oom, tampak lebih muda. =)

Meskipun tidak pernah tinggal dengan Ayah saya sebelumnya, sehingga saya tidak pernah punya perbandingan apapun untuknya, saya selalu merasa yakin, bahwa Ia adalah Ayah paling baik di dunia. Ia selalu lembut pada kami. Tidak pernah memarahi atau berkata kasar pada kami sekalipun. Ia juga tidak pernah membedakan antara kami, dan adik-adik saya yang lain. Dia adalah orang yang paling ribut mencarikan makanan kesukaan kami masing-masing saat kami berkunjung kerumahnya. Saya bahkan sempat geli sendiri padanya, pasalnya, karena saking inginnya memanjakan kami, semua pedagang makanan yang lewat depan rumah dipanggilnya satu-satu. Agar saya bisa merasakan semua masakan sunda katanya, -yah, tapi bagaimanapun, lidah saya tetap susah bersahabat dengan makanan serba aci dan daun-daunan mentah-.

Saya masih ingat ketika Ia memalingkan muka, berusaha menyembunyikan airmatanya, saat saya bercerita betapa payahnya saya bersepeda bolak-balik antara kampus dan tempat kerja. Atau saat Ia begitu kecewa ketika saya menolak uang semesteran yang ia tawarkan saat keadaan ekonomi keluarga mulai membaik. Sungguh, saat itu saya tidak berniat menyakiti hatinya. Saya hanya tidak suka berhutang budi saja. karena saya tidak pernah tau akan bisa membalasnya atau tidak. Dan saya ingat sekali, betapa air mukanya berubah menjadi kecut saat saya memanggilnya Oom keras-keras dikerumunan undangan misuda saya.

Ah iya, ia juga selalu berusaha melucu disetiap kesempatan. Sibuk tertawa-tawa saat kami saling bercerita dalam bahasa jawa, padahal saya tau, ia tidak terlalu paham bahasa jawa. Ia juga tidak pernah marah saat kebingungan mencari rokoknya yang kami sembunyikan karena ia terlalu banyak merokok. Ia hanya akan tertawa dan berjalan ke warung sebelah untuk beli permen mint. Dan yang lucu, Ia selalu mengingatkan saya untuk makan teratur setiap kali menelphon. Padahal, saya bahkan makan melebihi porsi makan orang normal. hehe.

Semuanya terasa biasa saja. Sampai saya pergi jauh dan tidak bisa pulang sebulan sekali. atau bahkan 6 bulan sekali. Tiba-tiba saja kau akan menjadi begitu sentimentil ketika kau mengingat keluargamu, saat kau jauh dari mereka. Tiba-tiba saja air matamu jadi gampang sekali meleleh saat mereka menelphonmu dan bertanya kapan akan pulang. Karena, memang benar, bahwa kasih sayang tidak akan mengenal kedalamannya sampai saat berpisah tiba.

Kemudian saat Ia menelphon, menanyakan kabar saya, -dan tentu saja, pertanyaan kapan pulang,ka?-, saya ingin sekali memanggilnya Bapak. Ia terdiam sejenak. dan berkali-kali mengucapkan kalimat syukur pada Tuhan, karena saya memanggilnya demikian. Saya tidak pernah tau, bagaimana mungkin seseorang menjadi begitu berbahagia hanya karena saya merubah panggilan padanya dari 1 suku kata menjadi 2 suku kata. Toh panggilan apapun yang saya berikan padanya tidak pernah merubah apa-apa. Ia tetap orang tua saya. Saya menundanya terlalu lama bukan karena apa-apa. Hanya canggung saja. Bukan karena tidak mau menerimanya atau apa. kalo alasannya itu si, malah jadi terlalu disinetronisasi.

Kedepannya saya memang harus membiasakan diri memanggilnya Bapak, dan berusaha untuk tidak tertawa setelah mengucapkannya. Canggung, sih, tapi tak apa, kalo itu membuatnya bahagia. Jadi, siapa yang peduli siapa ayah biologismu kalo kau punya Bapak sehebat ia. Iya, kan, Oom?, eh, Bapak?. =)